Adapun secara tahunan, inflasi IHK tercatat hanya sebesar 0,76% year-on-year (yoy), jauh lebih rendah dibanding perkirakan konsensus pasar yang memprediksi sebesar 1,57% yoy.
Angka inflasi Januari 2025 itu juga menjadi yang terendah dalam 25 tahun terakhir. Terakhir kali inflasi IHK Indonesia di bawah 1% adalah pada Januari 2000 silam yaitu sebesar 0,28% yoy.
Inflasi yang lebih rendah pada Januari terutama adalah karena penurunan tarif listrik di mana pada bulan lalu, Pemerintah RI memberikan insentif fiskal berupa diskon 50% pembelian listrik untuk pelanggan berdaya mulai 2.200 VA.
Diskon tarif listrik itu diberlakukan selama dua bulan saja, yaitu Januari dan Februari. Itu berarti, pada Maret nanti inflasi berpotensi melonjak lagi karena diskon setrum berakhir ditambah kedatangan musim perayaan Ramadan hingga Idul Fitri yang secara musiman melejitkan harga-harga barang.
Di sisi lain, pemberlakuan aturan baru distribusi LPG ukuran 3 kilogram, kemungkinan juga bisa berdampak pada kenaikan inflasi bahan bakar rumah tangga. LPG 3 kg yang kini mulai sulit didapatkan, akan mendesak sebagian masyarakat membeli LPG nonsubsidi ukuran 5 kg dan 12 kg yang harganya lebih mahal.
Permintaan Lemah
Namun, menurut sebagian ekonom, deflasi terendah sejak 1999 dan angka inflasi tahunan terendah dalam 25 tahun itu, menjadi salah pertanda kelesuan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengatakan, secara umum deflasi dapat menjadi indikasi melemahnya daya beli masyarakat. Terutama, kata dia, jika disebabkan oleh turunnya permintaan agregat akibat ketidakpastian ekonomi atau stagnasi pendapatan.
"Jika tren ini berlanjut, maka bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi karena bisnis dan industri akan mengalami tekanan akibat rendahnya konsumsi," kata Rizal.
Ukuran inflasi inti yang biasa menjadi indikator permintaan dalam ekonomi, pada Januari, masih mencatat kenaikan yaitu sebesar 2,36% dari bulan sebelumnya 2,26%.
Namun, kenaikan inflasi inti itu diduga terutama karena lonjakan harga emas yang terungkit sentimen eksternal. Emas di pasar dunia berulangkali memecahkan rekor harga sehingga mempengaruhi kenaikan harga emas lokal.
Rupiah Terancam
Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson, menilai, data inflasi Januari memberikan pembacaan yang campur aduk sehingga sinyal bagi kebijakan moneter pun jadi bercampur.
Di satu sisi, inflasi inti pada Januari lebih kuat dari ekspektasi pasar. Inflasi inti menunjukkan tingkat permintaan dalam ekonomi. Namun, penting dicatat, kenaikan inflasi lebih karena harga emas.
Di sisi lain, inflasi umum bulan lalu lebih kecil dari perkiraan, bahkan jadi yang terendah sejak 2000. Walau perlu dicatat, beberapa kelompok pengeluaran masih mencatatkan kenaikan, terutama komoditas dapur, sembako, hingga makanan restoran.
Melihat data itu, ekonom memperkirakan Bank Indonesia kemungkinan akan menahan BI Rate di 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur edisi Februari.
Selain sinyal campuran dari data inflasi, faktor rupiah mungkin akan menahan BI melanjutkan pelonggaran moneter bulan ini, setelah mengejutkan pasar dengan penurunan 25 basis poin bulan lalu.
“Volatilitas pasar yang dipicu oleh pengumuman tarif impor AS pada Kanada, Meksiko dan China, akan membuat BI fokus pada rupiah yang telah melemah bersamaan dengan mata uang Asia lain,” kata Henderson.
Pada perdagangan Senin, rupiah telah melemah 0,82%, bersama-sama dengan mata uang negara lain yang juga tertekan dolar AS, akibat tekanan sentimen perang tarif.
Setelah ambles 1,21% bulan lalu, pelemahan pada Senin lalu membawa kejatuhan rupiah mencapai 2,03% year-to-date, terburuk di Asia.
Sinyal dari SRBI
Bank Indonesia kembali memangkas bunga diskonto Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) ke level terendah dalam 15 bulan terakhir, dalam lelang yang digelar Jumat pekan lalu.
Penurunan bunga SRBI untuk kesekian kalinya, berlangsung di tengah penawaran yield dari peserta lelang yang kembali turun. Juga, di tengah tekanan yang dihadapi oleh rupiah.
Bunga diskonto SRBI berjangka waktu 12 bulan, yang menjadi favorit para investor, dimenangkan di level 6,74%, menjadi penurunan tingkat imbal hasil dalam lima lelang berturut-turut. Level bunga tersebut juga menjadi yang terendah sejak 20 Oktober 2023 lalu.
Penurunan bunga SRBI untuk kesekian kali tersebut, memperkuat ekspektasi akan terjadinya penurunan bunga acuan BI Rate ke depan.
Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada Jumat pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, masih mencermati peluang penurunan BI Rate lebih lanjut setelah pertengahan bulan ini memangkas 25 basis poin menjadi 5,75%.
“Kami melihat perkiraan inflasi ke depan rendah misalnya inflasi IHK pada akhir tahun kami perkirakan sekitar 2,7%. Bahkan inflasi inti juga rendah 2,6%, dari pertimbangan ini kenapa ruang penurunan suku bunga terbuka,” kata Perry.
Perry bilang, aspek inflasi dan pertumbuhan ekonomi sejauh ini sudah menunjukkan kemungkinan BI untuk dapat memangkas suku bunga acuan lebih lanjut. Namun, pelemahan nilai tukar rupiah masih jadi variabel yang membatasi.
“Tinggal masalahnya, masalah stabilitas nilai tukar kenapa yang kami sampaikan dinamika global dan domestik. Kami akan lihat bagaimana nilai tukar ke depan,” kata Perry.
Rapat Dewan Gubernur BI bulan ini akan digelar pada 18-19 Februari. Pada RDG bulan Januari, secara mengejutkan Dewan Gubernur BI memangkas bunga acuan, BI rate, di luar konsensus pasar yang secara bulat memperkirakan BI rate akan ditahan mengingat tekanan terhadap rupiah yang kian besar.
-- dengan bantuan laporan Dovana Hasiana.
(rui/aji)































