"Itu ada klausul dalam JETP itu US$5 miliar akan dihibahkan apabila dana tersedia. Setelah dicek kapan bisa dihibahkan, mereka bilang 'maaf, tidak tersedia'. Ini realitanya yang saya dengar dari kawan-kawan PT PLN," lanjut Hashim.
Karena itu, ada baiknya pemerintah tidak perlu menaruh harapan yang tinggi pada pendanaan dari program JETP.
Di sisi lain, komitmen Environmental, Social, and Governance (ESG) pemerintah era Prabowo Subianto, bakal teruji secara otomatis dengan ditetapkannya target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
"Saya amat yakin kita akan melampaui [pertumbuhan ekonomi] 8%. Ini nanti ada dampak juga kepada supply dan kebutuhan listrik dan energi. Semakin cepat, semakin besar pertumbuhan ekonomi, itu nanti membutuhkan supply energi yang juga besar," papar Hashim.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi justru menilai keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement, tidak memengaruhi pendanaan JETP di Indonesia.
Eniya memandang meski sebagai leader, pendanaan JETP tidak berpusat dari AS saja, karena masih ada anggota lain yang bisa menjadi sumber pendanaan misalnya Jepang.
"Saya rasa sih nggak terlalu [berpengaruh] ya. Pendanaan tadi kan bisa dari Jepang, ada dari macam-macam. Karena dana itu sekarang bergeraknya banyak di Asia. Kalau Eropa sedikit-sedikit, Amerika juga," kata Eniya saat ditemui di sela kegiatan Berita Satu Outlook 2025, Kamis (30/1/2025).
(mfd/del)