Yon mengatakan tujuan pemberlakuan tarif PPN tidak semata-mata untuk menaikkan penerimaan negara, namun ada unsur-unsur pertimbangan lain seperti asas keadilan dan keberpihakan.
Misalnya, pembebasan PPN yang dikenakan kepada jasa pendidikan dan kesehatan. Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), sektor pendidikan dan kesehatan merupakan jenis-jenis jasa yang atas penyerahannya tidak dikenai pungutan. Keberadaan jasa yang tidak dikenakan PPN ini muncul karena adanya pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya.
Ketentuan tentang PPN diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang telah mengalami beberapa kali perubahan, terbaru diatur dalam UU HPP berkaitan dengan besar tarif PPN.
Selain kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai, regulasi baru ini juga mengatur kembali daftar negative list atau barang/jasa yang tidak dikenakan PPN. Artinya, beberapa barang/jasa yang sebelumnya berada dalam daftar negatif list, akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Namun pemerintah menegaskan, bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar Pajak Pertambahan Nilai atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.
Yon mengatakan PPN sendiri menjadi indikator aktifitas ekonomi suatu negara. Di Indonesia PPN memberikan kontribusi yang sangat besar yakni hingga 40%.
"PPN ini menjadi indikator perekonomian kita yang sangat penting. Apa yang terjadi di PPN ini bisa mencerminkan apa yang terjadi di perekonomian secara keseluruhan," katanya.
(sda/evs)