Namun, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS menuai beragam tanggapan. Di satu sisi, keanggotaan ini dianggap sebagai perwujudan politik luar negeri bebas aktif Indonesia dan diharapkan dapat memperkuat kerja sama dengan negara-negara berkembang lainnya. Namun, ada kekhawatiran terkait potensi risiko geoekonomi, terutama mengingat dominasi China dan Rusia dalam aliansi ini.
Berikut adalah tinjauan singkat mengenai kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya terkait dengan BRICS, selama 100 hari pertama Kabinet Merah Putih:
Bergabung di Tengah Ancaman Tarif Trump
Presiden terpilih AS, Donald Trump, memperingatkan negara-negara yang tergabung dalam BRICS bahwa ia akan meminta komitmen agar mereka tidak menciptakan mata uang baru sebagai alternatif pengganti dolar AS. Dia menegaskan kembali ancaman untuk mengenakan tarif 100%.
“Gagasan bahwa negara-negara BRICS mencoba menjauh dari dolar sementara kita hanya diam saja telah SELESAI,” tulis Trump dalam sebuah postingan di jejaring sosial Truth Social pada Sabtu (30/11/2024).
“Kami meminta komitmen dari negara-negara ini bahwa mereka tidak akan menciptakan Mata Uang BRICS yang baru, maupun mendukung mata uang lain untuk menggantikan kekuatan Dolar AS, atau mereka akan menghadapi tarif 100%, dan harus siap untuk mengucapkan selamat tinggal pada penjualan ke ekonomi AS yang luar biasa,” tambah Trump.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Ekonom sekaligus Direktur China-Indonesia Desk Center of Economic and Law Studies (Celios) berpendapat, keputusan Pemerintah Indonesia bergabung dalam aliansi BRICS akan menyeret Indonesia terlibat dalam perang dagang, juga ancaman tarif AS sebagai langkah proteksionisme dagang.
“Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, US memberlakukan tarif 100% pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut," kata Zulfikar.

Trump dalam tim kampanyenya berjanji bahwa ia akan membuat negara-negara yang mencoba menjauh dari dolar AS merasakan konsekuensinya. Ia juga mengancam akan menggunakan tarif untuk memastikan mereka patuh.
BRICS dibentuk pada 2006 untuk memfokuskan perhatian pada peluang investasi di antara negara-negara anggota. Namun, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal mengatakan BRICS belum memiliki agenda ekonomi yang terlihat bertujuan untuk memajukan anggotanya. BRICS memang memiliki New Development Bank (NDB) selaku institusi finansial yang memiliki tujuan memobilisasi sumber daya untuk pembangunan, tetapi permasalahannya cukup banyak.
"Namun, permasalahannya cukup banyak, dari mulai kurangnya sumber daya, sampai kurangnya dukungan dari anggota. Apalagi anggota BRICS sering tidak cocok satu sama lain, seperti India dan China," ujar Yose kepada Bloomberg Technoz.
Menurut Yose, saat ini BRICS juga condong menjadi platform geopolitik dari anggotanya. Sehingga, berbagai agenda ekonomi dilandasi dari keinginan melebarkan pengaruh politik, dibandingkan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan. Sehingga dari sisi ekonomi, manfaatnya sangat terbatas.
Posisi Neraca Dagang RI Terhadap 5 Negara BRICS
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan lima negara anggota inti BRICS—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—mengalami defisit sebesar US$1,63 miliar pada tahun 2024. Ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut hanya mencapai US$84,37 miliar, sementara nilai impor dari mereka mencapai US$86 miliar.
“Neraca perdagangan Indonesia dengan lima negara BRICS defisit US$1,63 miliar,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta.
Ekspor Indonesia ke lima negara utama BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) mencatat berbagai dinamika pada tahun 2024. China masih menjadi mitra dagang utama dengan total nilai ekspor sebesar US$60,22 miliar, meskipun turun dibandingkan catatan tahun 2023 sebesar US$62,33 miliar. Kontribusi ekspor Indonesia ke China mencakup 24,20% dari total ekspor ke seluruh negara BRICS.
Komoditas utama yang dikirim ke China antara lain besi dan baja (US$16,07 miliar), bahan bakar mineral (US$13,89 miliar), serta nikel dan turunannya (US$6,26 miliar).
India berada di urutan kedua sebagai tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$20,32 miliar, meningkat tipis dari US$20,28 miliar pada 2023. Ekspor ke India menyumbang 8,17% dari total ekspor ke BRICS, dengan barang utama berupa bahan bakar mineral (US$6,98 miliar), lemak dan minyak hewani/nabati (US$3,96 miliar), juga besi dan baja (US$1,86 miliar).
Selanjutnya, Brasil menempati posisi ketiga dengan nilai ekspor sebesar US$1,72 miliar (porsi 0,69%). Barang yang dikirim meliputi lemak dan minyak hewani/nabati (US$476,51 juta), mesin dan perlengkapan elektrik (US$247,87 juta), kendaraan dan bagiannya (US$186,64 juta).
Rusia mencatat peningkatan signifikan dalam nilai ekspor Indonesia, naik dari US$910 juta pada 2023 menjadi US$1,31 miliar di 2024 (porsi 0,53%). Komoditas utama yang diekspor ke Rusia mencakup lemak dan minyak hewani/nabati (US$733,9 juta), kakao dan olahannya (US$140,02 juta), serta kopi, teh, dan rempah-rempah (US$115,95 juta).
Di urutan terakhir, Afrika Selatan menerima ekspor senilai USD $780 juta pada 2024, turun dari USD$840 juta pada tahun sebelumnya. Porsi ekspor ke Afrika Selatan sebesar 0,31%, dengan komoditas utama berupa lemak dan minyak hewani/nabati (US$316,71 juta), mesin dan peralatan mekanis (US$63,94 juta), juga kertas, karton, dan turunannya (US$ 61,88 juta).
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, neraca perdagangan Indonesia secara konsisten mencatatkan surplus dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, surplus mencapai US$8,46 miliar, meningkat 2,43% dibandingkan tahun sebelumnya.
Surplus ini disebabkan oleh nilai ekspor Indonesia ke AS yang lebih tinggi dibandingkan impornya. Pada tahun tersebut, ekspor ke AS mencapai US$17,72 miliar, meskipun mengalami penurunan 3,90% dibandingkan tahun sebelumnya, sementara impor turun 9,05% menjadi US$9,26 miliar.
Tren surplus ini berlanjut hingga tahun 2024. Menurut data Kementerian Perdagangan, surplus neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2024 mencapai US$31,04 miliar, dengan AS menjadi penyumbang surplus terbesar sebesar US$16,84 miliar. Sehingga, bisa dikatakan hubungan dagang antara Indonesia dan AS dalam lima tahun terakhir menunjukkan kinerja yang stabil dan menguntungkan.
Kemungkinan Beli Minyak Rusia
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sinyal Indonesia bisa membeli minyak dari Rusia setelah resmi bergabung secara penuh dengan BRICS. Menurut Luhut, pada dasarnya Indonesia bisa membeli minyak dari mana pun, termasuk dari Rusia, sepanjang transaksinya menguntungkan Indonesia dengan mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan mengimpor dari negara lain.
"Ya ke mana saja kalau menguntungkan Republik Indonesia kita beli, kalau kita ada dari bulan kita beli [...] Kalau kita dapat lebih murah US$20 atau US$22 [per barel] kenapa tidak?" ujar Luhut.
Di lain sisi, Luhut tetap menekankan Indonesia perlu berhati-hati dan membuka komunikasi dengan negara lain bila pada akhirnya memutuskan untuk membeli minyak dari Rusia. Terlebih, saat ini banyak negara yang memberikan sanksi kepada Rusia akibat perang dengan Ukraina.

"Sepanjang itu bisa kita bicarakan kepada beberapa negara lain kenapa tidak? Akan tetapi, tentu kita hati-hati melihat ini dengan bagus," ujarnya.
Di sisi lain, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut bergabungnya RI dalam keanggotaan BRICS perlu didorong khususnya perdagangan Selatan-Selatan. Sejumlah negara sahabat kontra terhadap perdagangan, tetapi dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia bisa memperkuat hubungan dengan China, India, dan Rusia.
“Jadi hal ini sebagai negara yang memang tentu kita independen, kita tidak punya bagian dari geopolitis manapun. Kita dengan adanya BRICS, kita juga tetap [anggota] WTO, kita juga berdagang ya inilah Indonesia,” tutur Erick.
Pro-Kontra Bergabungnya Indonesia dengan BRICS
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS masih memicu perdebatan di dalam negeri. Aliansi yang digadang-gadang sebagai penyeimbang kekuatan G7—yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang—membuka peluang baru bagi Indonesia untuk memperkuat solidaritas negara-negara Global South dalam menghadapi dominasi Barat.
Namun, bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok ekonomi yang didominasi China, Rusia, Brasil, India, dan Afrika Selatan ini juga menimbulkan kekhawatiran. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi ketergantungan yang semakin besar pada China, yang selama ini menjadi motor penggerak utama BRICS.
Menurut Yeta Purnama, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Indonesia seharusnya lebih agresif dalam mendiversifikasi mitra dagang secara bilateral guna menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
"Potensi kerja sama multilateral tentu menguntungkan, tetapi jika hanya berpusat pada lingkaran yang sama, seperti China, ketika ekonomi negara dominan melemah, dampaknya bisa sangat rentan terhadap stabilitas ekonomi domestik," ungkap Yeta.
Dia menilai bahwa risiko ini harus diantisipasi dengan memainkan peran strategis dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor prioritas. Salah satunya adalah investasi dan pembangunan infrastruktur yang tidak hanya memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang tetapi juga memperkuat kemandirian ekonomi anggota BRICS.
Selain itu, Yeta menyoroti pentingnya peran Indonesia dalam memajukan kerja sama di bidang investasi hijau (green investment).
"Jika berbicara Global South, urgensi yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi investasi di sektor ekstraktif. BRICS harus mendorong green investment untuk menciptakan pertumbuhan hijau dalam beberapa tahun ke depan," tambahnya.
Indonesia juga diharapkan bisa mengambil inisiatif dalam pengembangan pasar modal yang ramah lingkungan, sejalan dengan tren global menuju pembangunan berkelanjutan. Dengan peran yang lebih aktif di sektor ini, Indonesia dapat mengarahkan aliansi BRICS untuk fokus pada investasi yang mendukung transisi energi dan pembangunan berkelanjutan.
Langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS memang membuka peluang besar, tetapi juga membawa tantangan signifikan. Dalam dinamika geopolitik dan ekonomi global yang terus berubah, Indonesia perlu memastikan bahwa keputusannya ini tidak hanya menjadi simbol solidaritas, tetapi juga berdampak nyata pada stabilitas dan kemandirian ekonomi.
(del/hps)