Max Rivera dan Alicia A Caldwell - Bloomberg News
Bloomberg, Presiden AS Donald Trump mengatakan ia telah menandatangani perintah eksekutif yang meminta Pentagon dan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk mengkaji pembangunan fasilitas di pangkalan angkatan laut di Teluk Guantanamo, yang bisa menampung 30.000 migran ilegal.
"Beberapa dari mereka sangat buruk, kami bahkan tidak percaya negara-negaranya akan menampung mereka karena kami tidak ingin mereka kembali, jadi kami akan mengirim mereka ke Guantanamo," tegas Trump pada Rabu (29/1/2025) saat meneken Undang-Undang Laken Riley terkait penahanan para imigran tak berizin yang dituduh melakukan tindakan kriminal.
Trump bilang perintah ini dapat melipatgandakan kapasitas AS untuk menahan para imigran. Rencana ini sebelumnya diungkap oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem kepada Fox News bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengirim para migran ke penjara yang terletak di ujung tenggara Kuba tersebut.
Pangkalan angkatan laut ini telah lama digunakan sebagai penjara sementara untuk beberapa migran yang tertangkap di laut. Berbagai pemerintahan juga mempertimbangkan untuk memperluas penggunaan pangkalan ini untuk menahan para migran.
Pada tahun 1991, Presiden George HW Bush menggunakan tempat tersebut untuk menampung sementara ribuan pengungsi Haiti yang melarikan diri dari negaranya melalui laut.
Ancaman untuk menggunakan pangkalan tersebut bagi para migran, yang juga menampung tersangka terorisme tak lama setelah serangan teroris 11 September, telah lama dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi imigran yang memperingatkan bahwa tindakan itu mengabaikan perlindungan hukum yang berlaku bagi banyak migran.
Perintah terbaru ini merupakan bagian dari perombakan kebijakan imigrasi yang lebih luas, di mana pemerintah melakukan penangkapan besar-besaran di New York, Chicago, dan Denver terhadap orang-orang yang dihukum karena kejahatan serius.
Trump juga berjanji akan melakukan deportasi terbesar dalam sejarah AS. Ia mengumumkan keadaan darurat nasional di perbatasan selatan, memerintahkan ribuan pasukan tambahan untuk membantu penegakan hukum, dan memutus akses untuk mendapatkan suaka.
Pada Selasa (28/1/2025), pemerintah membatalkan perpanjangan Status Perlindungan Sementara (TPS) yang diajukan oleh mantan Presiden Joe Biden untuk 600.000 warga Venezuela yang berada di AS.
Perpanjangan TPS selama 18 bulan ini akan melindungi para migran Venezuela agar tidak dipulangkan ke negara asalnya dan mengizinkan mereka bekerja secara legal di AS. Pemerintahan Biden mengumumkan perpanjangan tersebut beberapa hari sebelum lengser dari jabatannya.
"Kami menghentikannya," kata Noem di Fox News. "Kami menandatangani perintah eksekutif di Departemen Keamanan Dalam Negeri bahwa kami tidak akan menindaklanjuti apa yang mereka lakukan untuk membatasi kami."

Program TPS diperluas secara agresif di bawah pemerintahan Biden, yang menggunakannya untuk melindungi orang-orang dari negara-negara yang dianggap tidak stabil, seperti Haiti, El Salvador, dan Ukraina. Keputusan Trump mencabut perpanjangan bagi warga Venezuela dilaporkan sebelumnya oleh New York Times.
Dalam beberapa tahun terakhir, warga Venezuela termasuk di antara kelompok migran terbesar yang melintasi perbatasan AS-Meksiko tanpa izin meminta suaka. Meskipun TPS untuk negara Amerika Selatan tersebut awalnya mendapat dukungan luas, program ini kemudian menjadi target Partai Republik yang berpendapat bahwa TPS diberikan terlalu bebas dan menarik banyak migran.
Florida, Texas, dan New York merupakan rumah bagi populasi terbesar penerima TPS, di mana sekitar setengah dari total penerima berasal dari Venezuela. Patricia Andrade, dari lembaga nirlaba Raíces Venezolanas yang berbasis di Miami, menyarankan para pemegang TPS mengajukan permohonan visa lain dan pilihan imigrasi alternatif.
"Banyak dari mereka yang menerima TPS memilih untuk mendapatkan suaka atau visa imigran, tetapi ada juga yang masih menunggu mendapat visa baru ini," katanya. "Mereka inilah yang menjadi perhatian kami."
(bbn)