Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Ardhi Wardhana berpandangan, sejak sektor energi Rusia dikenakan sanksi oleh Amerika Serikat (AS) 10 Januari 2025, harga minyak dunia sebenarnya bergerak makin mahal saat ini.

Hal itu tidak banyak dirasakan lantaran minyak dunia masih berfluktuasi di zona bearish. Akan tetapi, harga minyak mentah atau crude di beberapa benchmark sebenernya merangsek naik dari sekitar US$68—US$70 per barel pada kuartal IV-2024 menjadi sekira US$75—US$78 per barel pada Januari sejak Rusia disanksi AS.

“Walaupun ada kenaikan tersebut, jika dibandingkan [secara tahunan] atau year on year [yoy], dampak sanksi tersebut terbilang tidak signifikan atau kembali pada kisaran harga pada kuartal I-2024,” kata Ardhi saat dihubungi, Rabu (29/1/2025). 

Per hari ini, harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Maret sedikit berubah pada US$77,49 per barel pada pukul 9:25 pagi di Singapura. Harga minyak mentah WTI untuk pengiriman Maret naik 0,1% menjadi US$73,82 per barel.

Pergerakan harga minyak per Rabu (29/1/2025)./dok. Bloomberg

Selain karena sanksi AS ke Rusia, kenaikan harga minyak dunia kemungkinan besar juga diakibatkan oleh kesepakatan OPEC+ yang memperpanjang kesepakatan pemotongan produksi sampai akhir kuartal I-2024 untuk mempertahankan harga.

“Kenaikan harga ini memang berdampak pada naiknya biaya produksi di kilang Indonesia,” tutur Ardhi.

Terlepas dari gejolak harga tersebut yang bersifat eksogen atau faktor luar, Ardhi menilai kilang minyak Indonesia memang membutuhkan banyak perbaikan karena telah beberapa kali mengalami kerugian akibat kecelakaan kerja dan rendahnya produktivitas.

Mengingat sejak 2021-2024 terjadi beberapa kali kebakaran di berbagai fasilitas di Indonesia. Di antaranya insiden kebakaran yang terjadi di Crude Distillation Unit (CDU) IV Balikpapan pada Mei 2024 milik anak usaha PT Pertamina, yakni PT Kilang Pertamina Internasional.

“Penting bagi kita memang untuk mengantisipasi faktor luar akibat sanksi AS ke Rusia atau faktor-faktor lain seperti perang, bencana alam, dan lainnya dengan cara memastikan rantai ketahanan rantai pasok melalui diversifikasi supplier,” ujarnya. 

Analisis Goldman

Goldman Sachs Group Inc baru-baru ini menyatakan sanksi AS terhadap industri minyak Rusia sepertinya tidak akan mengakibatkan "pukulan besar" terhadap produksi minyak. Penyebabnya, tarif angkutan yang lebih tinggi dan harga minyak mentah Rusia yang murah justru mendukung perdagangan minyak Negeri Beruang Merah.

Para analis, termasuk Callum Bruce, dalam catatan tertanggal 24 Januari, menyebut peningkatan biaya pengangkutan telah mendorong kapal-kapal yang tidak dikenai sanksi untuk mengangkut minyak mentah Rusia, mengisi kekosongan yang ditinggalkan kapal-kapal tanker yang masuk dalam daftar hitam.

Diskon minyak ESPO yang makin besar juga menciptakan insentif yang kuat bagi para pedagang dan penyuling yang sensitif terhadap harga untuk terus membeli minyak Rusia.

Menurut Goldman, pendapatan minyak Rusia sedikit meningkat sejak pemerintahan Joe Biden menerapkan sanksi awal bulan ini, dan para pembuat kebijakan di negara-negara Barat diperkirakan akan lebih memprioritaskan untuk memaksimalkan diskon daripada mengurangi volume. Total ekspor tetap "cukup stabil."

Namun, ketidakpastian seputar dampak sanksi-sanksi tersebut masih "tinggi, terutama karena beberapa transaksi wind-down diizinkan hingga 12 Maret," tulis para analis dalam catatan tersebut.

(mfd/wdh)

No more pages