Bloomberg Technoz, Jakarta - Laporan kekayaan dan harta para pejabat negara, termasuk menteri-menteri di Kabinet Merah Putih, menyajikan banyak informasi tentang alokasi aset para penggawa pemerintahan.
Bukan hanya nilai kekayaan beberapa menteri yang mencatat angka fantastis. Penempatan harta atau aset yang cukup besar dalam bentuk surat berharga, memperlihatkan kecenderungan para pejabat sebagai penyuka paper investment atau investasi portofolio, apakah itu dalam bentuk instrumen surat utang (obligasi), saham, ataupun jenis paper investment derivasi seperti reksa dana, REIT (Real Estate Investment Trust), sertifikat deposito, Kontrak Pengelolaan Dana (Discretionary Fund), dan lain sebagainya.
Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, misalnya, menempatkan 92,5% dari total harta yang dilaporkan adalah dalam bentuk surat berharga. Nilainya besar, yakni mencapai Rp5 triliun. Namun, tidak diperinci berapa yang ditempatkan dalam bentuk saham, ataupun surat utang, juga surat berharga lain.
Yang pasti, Menteri Widi juga tercatat terafiliasi dengan beberapa perusahaan. Seperti Teladan Prima Agro, Teladan Properties, Teladan Resources, dan lain sebagainya.
Menteri-menteri lain juga banyak yang menempatkan asetnya dalam instrumen surat berharga. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, misalnya, memiliki harta berupa surat berharga sebanyak Rp61,02 miliar, atau setara 47,05% dari harta yang dilaporkan.
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI), mencatatkan aset berupa surat berharga senilai Rp24,28 miliar. Tidak ada perincian berapa yang ditempatkan di obligasi, juga berapa yang berupa saham atau aset paper investment lain.
Nilai paper investment Menteri SMI mencapai 30,4% dari total kekayaan yang dilaporkan. Sedangkan mayoritas aset SMI yaitu sekitar 61,24% adalah berupa tanah dan bangunan.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga banyak menyimpan aset dalam surat berharga. Tercatat, Menteri Amran memiliki kekayaan senilai Rp828,29 miliar dalam bentuk surat berharga, berdasarkan LHKPN akhir Maret 2023. Itu sekitar 58% dari total harta yang dilaporkan pada KPK.

Di Indonesia, daya tarik paper investment atau investasi aset keuangan, memang meningkat pesat. Itu terindikasi dari jumlah investor pasar modal dalam 10 tahun terakhir yang juga terus melejit. Terlebih didukung oleh kemunculan berbagai aplikasi investasi seiring booming fintech beberapa tahun lalu, memicu lonjakan jumlah investor ritel yang tak sedikit.
Mengacu data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), total jumlah investor pasar modal di Indonesia hingga akhir 2024, telah mencapai 14,87 juta orang. Angka itu terdiri atas 14,54 investor ritel atau individu, lalu sisanya adalah investor korporasi, reksa dana (perusahaan pengelola aset), dana pensiun, institusi keuangan lain, sekuritas dan perusahaan asuransi.
Bandingkan dengan akhir tahun 2020 ketika jumlah investor pasar modal di Indonesia baru sebanyak 3,88 juta orang.
Yang menarik, investor pasar modal di Indonesia saat ini didominasi oleh anak muda. Tercatat, sebanyak 54,83% dari jumlah investor pasar modal didominasi oleh individu berusia kurang dari 30 tahun atau Gen Z.
Sementara investor berusia antara 31 tahun hingga 50 tahun, yakni Gen Y atau milenial dan Gen X, proporsinya mencapai 36%.
Para investor pasar modal di Tanah Air juga didominasi oleh mereka yang berpenghasilan menengah yakni antara Rp10 juta hingga Rp100 juta. Proporsinya mencapai 45,47%. Sedangkan investor dengan penghasilan di bawah Rp10 juta, jumlahnya mencapai 38,15%.
Sementara melihat nilai aset di pasar modal, para investor muda di Indonesia juga memperlihatkan pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada akhir tahun lalu, investor dengan usia di bawah 30 tahun di pasar modal, memiliki aset total sebesar Rp38,97 triliun di C-Best, dan sebesar Rp15,15 triliun tercatat di S-Invest.
Nilai aset terbesar tetap dicatat oleh investor berusia 'matang' yaitu 51-60 tahun di mana tercatat sebesar Rp256,33 triliun di C-Best dan Rp34,42 triliun di S-Invest.
Cuan investasi
Menempatkan aset di surat berharga apakah itu obligasi atau surat utang, ataupun saham dan berbagai produk derivasinya seperti reksa dana, unit linked, dan lain sebagainya, memang makin banyak diminati seiring kian mudah akses melalui berbagai aplikasi teknologi.
Modal yang relatif lebih kecil, saat ini, untuk memulai investasi, ditengarai juga menjadi pemicu makin banyak orang berusaha mencari cuan dari perdagangan surat berharga.
Sebagai gambaran, dahulu untuk memulai investasi saham, seseorang perlu membeli minimal 1 lot saham yang setara dengan 500 lembar saham. Namun, sejak 2014, 1 lot saham diturunkan menjadi setara 100 lembar saham.
Dengan begitu, modal investasi terutama bagi pemula dan ritel, menjadi lebih terjangkau. Sebagai gambaran, bila ingin memiliki saham bank swasta terbesar di Tanah Air, yakni BBCA, misalnya, dengan harga saat ini, seseorang 'hanya' butuh modal minimal sebesar Rp935.000 untuk mendapatkan 1 lot saham, di luar biaya fee transaksi yang dikenakan oleh perusahaan broker sekuritas.
Bandingkan dengan 10 tahun lalu, yang membutuhkan modal sedikitnya sebanyak Rp4,67 juta untuk mendapatkan saham yang sama.
Begitu juga untuk investasi di Surat Berharga Negara (SBN). Dahulu, membeli SBN di pasar sekunder, banyak broker yang mensyaratkan pembelian minimal Rp10 juta. Sementara saat ini, pembelian SBN bisa di harga Rp1 juta untuk mendapatkan 1 unit. Tidak berbeda dengan obligasi ritel (SBN ritel) yang juga menarget investor ritel bermodal pas-pasan.
Reksa dana, lebih terjangkau lagi. Seorang investor bisa memulai investasi di reksa dana mulai Rp100.000, bahkan Rp10.000.
Nah, dengan modal yang relatif lebih terjangkau, apakah peluang cuan di surat berharga memang menawan? Yang pasti, modal yang kian besar, memungkinkan peluang cuan yang juga menggiurkan.
Ambil contoh Menteri Widi yang memiliki aset berupa surat berharga senilai Rp5 triliun. Bila diasumsikan penempatan itu menghasilan return rata-rata sebesar 6% per tahun saja, maka passive income alias pendapatan pasif yang dikantongi bisa mencapai Rp300 miliar setahun atau Rp25 miliar setiap bulan.
Nama Aset | Harga Akhir 2023 | Harga Akhir 2024 | Return 2024 |
Bitcoin (US$ per BTC) | 42.507,90 | 93.714,04 | 120,46% |
Emas spot (US$ per troy ounce) | 2.062,98 | 2.624,50 | 27,21% |
Emas Antam (Rp per gram) | 1.130.000 | 1.365.000* | 20,79% |
IHSG | 7.272,79 | 7.079,90 | -2,65% |
USDIDR | 15.397 | 16.102 | 4,57% |
Obligasi Pemerintah | 366,66 | 383,61 | 4,82% |
Obligasi Korporasi | 422,27 | 455,66 | 7,78% |
Reksa Dana Saham | 5.733,24 | -10,32% |
Sumber: Bloomberg *) harga buyback
Bila melihat kinerja secara umum, tahun lalu kinerja paper investment seperti saham atau surat utang, apalagi reksa dana, memang relatif kalah bila dibandingkan pertumbuhan nilai investasi di aset riil seperti emas, ataupun mata uang kripto seperti Bitcoin.
Seperti terlihat dalam tabel di atas, return saham dan obligasi masih kalah dengan kenaikan harga emas dan Bitcoin. Reksa dana, bahkan mencatat kinerja minus untuk jenis reksa dana saham.
Namun, bila menilik individual saham, misalnya, tidak sedikit saham yang memberikan cuan hingga ratusan persen. Contoh, saham IPO seperti RATU, ticker saham untuk PT Raharja Energi Cepu Tbk, memberikan kenaikan hingga 521,74% sejak dijual melalui Initial Public Offering (IPO) 7 Januari lalu.
Contoh lain, misalnya, saham PT Barito Renewable Tbk (BREN) yang IPO pada 6 Oktober 2023 di harga Rp780 per lembar saham. Saham terafiliasi konglomerat Prajogo Pangestu itu sempat menyentuh all time high di Rp11.900 per lembar saham pada 11 September lalu, mencerminkan kenaikan hingga 1.425% hanya dalam waktu kurang dari setahun.
(rui)