Namun, total kerugian tersebut masih berupa perkiraan yang nominalnya bisa berubah apabila ada laporan terbaru dari pihak-pihak terkait.
“Kebijakan ini akan sangat berbahaya jika pemerintah tidak menepatinya. Di sisi lain trust pelaku usaha kepada pemerintah harus dijaga. Karena merekalah di lapangan mengalami sendiri, menghadapi apa yang terjadi selama pelaksanaan itu terjadi,” tegasnya.
Menurut catatan KPPU, persoalan utang rafaksi minyak goreng tersebut berawal dari melambungnya harga minyak goreng di pasaran pada Januari 2022.
Saat itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada 19 Januari 2022.
"Permendag itu kan menghendaki adanya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dengan satu harga. Ketika itu ada juga kebijakan yang ditetapkan yakni harga acuan keekonomian [HAK] dan harga eceran tertinggi [HET]. Pada saat itu HAK minyak goreng Rp 17.260 per liter dan HET Rp 14.000 per liter," papar Komisioner KPPU Chandra Setiawan.
Melalui beleid tersebut, Kemendag menugaskan peritel modern yang berada di bawah naungan Aprindo untuk menjual minyak goreng dengan harga sesuai ketentuan HET, yakni Rp14.000/liter sepanjang 19-31 Januari 2022.
Adapun, hingga kini selisih harga antara HAK dan HET yang totalnya mencapai Rp344,15 miliar akan dibayarkan oleh pemerintah menggunakan dana BPDPKS.
(wdh)