Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) telah menindak penyelundupan di bidang kepabeanan dan cukai sebanyak 12.490 penindakan dengan nilai Rp6,1 triliun dan potensi kerugian negara mencapai Rp3,9 triliun.
Wijayanto menilai Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo mewariskan kondisi fiskal yang menantang kepada pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Indikasi pertama tantangan fiskal yang mengkhawatirkan dalam pemerintahan Prabowo dan Gibran adalah penerimaan yang menurun yang tercermin dari rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan tax ratio per Oktober 2024 sebesar 10,02% dari PDB. Angka itu lebih rendah apabila dibandingkan rasio pajak 2023 yang sebesar 10,32% dari PDB. Angka pada 2023 didapatkan dengan penerimaan perpajakan Rp2.155,4 triliun dan PDB nominal Rp20.892 triliun.
Tak hanya lebih rendah dibandingkan 2023, tax ratio yang disampaikan Sri Mulyani per Oktober 2024 juga lebih rendah jika dibandingkan dengan tax ratio 2022 yang saat itu tercatat sebesar 10,39%.
Kedua, kata Wijayanto, indikasi fiskal yang mengkhawatirkan juga tercermin melalui belanja yang meningkat. "Banyak hal yang seolah-olah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengeluarkan misalnya Bantuan Langsung Tunai [BLT], subsidi, dan lain sebagainya. Hal-hal yang sifatnya sementara sekarang kemudian seolah-olah menjadi satu kewajiban."
Belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang merupakan anggaran pertama Presiden terpilih Prabowo Subianto tembus Rp3.621,31 triliun, angka ini tercatat naik Rp8,26 triliun dari postur Rancangan APBN 2025 awal yang sebesar Rp3.613,1 triliun. Kenaikan belanja negara tersebut dipengaruhi kenaikan belanja non-kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp8,26 triliun.
Ketiga, peningkatan utang untuk menutup defisit bertahun-tahun. Wijayanto memaparkan utang mencapai Rp8.680 triliun pada 2024, dengan rasio utang terhadap PDB 39%.
"Bunga utang yang tinggi, tenor utang yang pendek dan penerimaan negara yang rendah menyebabkan situasi fiskal Indonesia sangat berisiko," ujarnya.
Selain itu, Wijayanto memproyeksikan debt service ratio (DSR) Indonesia mencapai 45% pada 2025, di mana cicilan pokok dan biaya bunga utang Rp1.353 triliun dengan penerimaan negara Rp3.005 triliun. Angka DSR ini jauh di atas ambang batas aman 30%.
DSR merupakan indikator untuk menilai kemampuan membayar kewajiban utangnya dibandingkan dengan pendapatan pada periode tertentu.
(dhf)