Sisanya, sekitar 15% atau setara Rp783 miliar menjadi jatah keuntungan proyek yang diterima konsorsium dan perusahaan rekanan.
Delapan Tersangka Pertama
KPK kemudian mulai menjerat para tersangka yang kemudian diseret hingga kursi pengadilan. Dua tersangka pertama adalah pejabat Kemendagri yaitu Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Irman Zahir; dan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Sugiharto.
Di pengadilan, Irman mendapat vonis penjara selama tujuh tahun; sedangkan Sugiharto menerima vonis penjara selama lima tahun, pada pertengahan 2017.
Penyidik kemudian menetapkan empat pengusaha sebagai tersangka yaitu Andi Narogong; Made Oka Masagung; Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo; dan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Hakim menjatuhkan hukuman paling berat kepada Irvanto dan Made Oka dengan masing-masing 10 tahun penjara; sedangkan Andi mendapat vonis delapan tahun penjara, dan Anang vonis enam tahun penjara.
Dua tersangka lainnya adalah anggota DPR yaitu Setya Novanto yang divonis penjara selama 15 tahun; dan anggota Komisi II Markus Nari dengan vonis enam tahun penjara.
Drama Jerat dan Penangkapan Ketua DPR
Usai menjerat sejumlah tersangka, KPK kemudian mengumumkan status tersangka pada Ketua DPR kala itu, Setya Novanto, Juli 2017. Namun, prosesnya berjalan berbelit. Ketua Umum Partai Golkar tersebut sempat lolos usai menang gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan, September 2017.
Hal ini membuat KPK harus menetapkan status tersangka lagi pada Setya Novanto pada November 2017. Setelah itu, penyidik harus mencari Setya yang tiba-tiba menghilang dan mangkir dari pemeriksaan KPK. Setya pun menyandang status buron atau masuk DPO.
Pada periode yang tak jauh, Setya tiba-tiba muncul dengan alibi sakit akibat kecelakaan mobil tunggal. Alih-alih melepas, KPK memutuskan menjemput Setya dari rumah sakit swasta ke RSCM dan berada di bawah pengawasan penyidik lembaga antirasuah tersebut.
Proses peradilan pun mulai bergulir usai dimulai pada Desember 2017. Dia pun menerima vonis penjara selama 15 tahun, denda Rp500 juta, dan wajib membayar uang pengganti RpUS$7,3 juta atau sekitar Rp66 miliar kala korupsi terjadi.
Johanes Marliem Bunuh Diri
Di tengah upaya menjerat Setya Novanto, saksi kunci yang memiliki rekaman dan salinan bukti korupsi e-KTP tiba-tiba meninggal dunia akibat bunuh diri, Agustus 2017. Dia adalah Johanes Marliem seorang WNI yang berpindah kewarganegaraan di Amerika Serikat.
Dia adalah Direktur Biomorf Lone LLC, perusahaan AS yang menyediakan layanan teknologi biometrik. Perusahaan tersebut rencananya penyediakan teknologi AFIS (automated finger print identification system) pada proyek e-KTP.
Dengan atau tanpa sepengetahuan para pelaku, Johanes merekam semua pembicaraan soal proyek e-KTP; termasuk sejumlah pertemuan penting dengan Setya dan tokoh lainnya.
Akan tetapi, tak begitu jelas, Johanes kemudian dilaporkan mengalami depresi hingga melakukan penyanderaan terhadap keluarganya sendiri di AS. Petugas kepolisian sempat berupaya menghentikan Johanes namun berakhir dengan tindakan bunuh diri dengan menembakan pistol ke tubuhnya sendiri.
Para Tersangka Tahap Dua
KPK tak berhenti melakukan pengusutan kasus korupsi megaproyek e-KTP. Mereka pun memulai penyidik pada orang-orang yang turut menikmati uang korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun tersebut.
Penyidik pun menetapkan empat tersangka baru dalam kasus tersebut pada pertengahan 2019. Mereka adalah mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani; Direktur PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos; Direktur Utama Perum PNRI Isnu Edhi Wijaya; dan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.
Pelarian Paulus Tannos Berakhir
KPK berulang kali berupaya memanggil dan memeriksa Paulus Tannos dalam kasus korupsi e-KTP. Penyidik pernah pergi ke Singapura hanya untuk melakukan pemeriksaan Tannos sebagai saksi. Jaksa KPK juga harus menggelar pertemuan virtual saat sidang e-KTP karena Tannos menolak hadir fisik di PN Tipikor Jakarta pada 2017.
Usai menjadi tersangka, KPK mendapat informasi Tannos sudah tak lagi berada di wilayah Indonesia. Selain itu, dia juga dikabarkan telah berganti identitas untuk melancarkan upaya pelarian dan persembunyiannya.
Penyidik sempat menemukan Tannos di Thailand pada awal 2023. Akan tetapi, Tannos tak bisa ditangkap karena belum masuk dalam daftar DPO internasional atau red notice interpol. Saat itu, KPK mengklaim sudah memasukkan nama Tannos ke Red Notice sejak 2019.
Sebelum lengser, Pimpinan KPK 2019-2024 pun sempat melaporkan daftar lima buron kasus korupsi yang tengah diburu lembaga antirasuah tersebut; salah satunya Paulus Tannos. Usai satu bulan, penyidik ternyata berhasil menangkap Tannos di Singapura.
(azr/frg)






























