Adapun, besaran utang pemerintah tersebut dihitung berdasarkan rerata selisih harga keekonomian minyak goreng senilai Rp17.260/liter dengan harga jual yang ditetapkan oleh pemerintah secara sepihak senilai Rp14.000/liter.
Chandra mengaku telah memanggil pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Aprindo untuk mencari tahu akar permasalahan di antara keduanya.
Setelah ditelusuri, permasalahan tersebut bersumber dari tidak adanya landasan hukum yang dapat digunakan oleh Kemendag untuk memenuhi hak 31 pengusaha ritel modern yang ikut menjalankan kebijakan satu harga minyak goreng lewat 42.000 gerainya.
Dasar hukum dari kebijkan minyak goreng satu harga adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Beleid tersebut kemudian tidak berlaku setelah diterbitkannya Permendag No. 6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
"Pelaku usaha mengalami kerugian yang cukup besar, opportunity cost, karena masalah ini berlarut-larut tak kunjung diselesaikan. Pelaku usaha sudah mengalami kerugian dua kali, yaitu selisih Harga Acuan Keekonomian (HAK) dengan harga pasar, dan selisih HAK dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang mencapai Rp 344 miliar," tutur Chandra.
Mengacu pada Peraturan KPPU No. 4/2023 tentang Pemberian Saran dan Pertimbangan Terhadap Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan dengan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU merekomendasikan pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahannya dengan Aprindo.
Bagaimanapun, lanjutnya, juga utang pemerintah kepada Aprindo harus dibayar karena ini menyangkut soal kepercayaan dunia usaha, khususnya peritel modern.
"Saya percaya bahwa pemerintah akan membayar transaksi minyak goreng ini. Pemerintah tidak mungkin akan merugikan pelaku usaha. Karena ini riil. PT. Sucofindo atau Superintending Company Indonesia [yang ditugaskan untuk melakukan verifikasi] adalah BUMN [Badan Usaha Milik Negara] yang dipercaya dan dipakai secara nasional maupun internasional. Jadi itu masalah waktu saja karena menunggu hasil legal opinion dari kejaksaan Agung," kata Chandra.
(rez/wdh)