Mengacu pada Statistik Fintech Lending terbaru yang dirilis oleh OJK, per Maret 2023, 102 perusahaan penyedia P2P Lending di Indonesia mencatat kenaikan penyaluran pinjaman 56% dibandingkan Maret 2022. Nilai outstanding pinjaman fintech lending mencapai Rp45,23 triliun per akhir Maret lalu. Pinjaman itu disalurkan pada kurang lebih 17,59 juta rekening aktif.
Dari jumlah outstanding pinjaman tersebut, sebanyak Rp3,57 triliun tercatat sebagai pinjaman tidak lancar (30-90 hari) dan senilai Rp1,43 triliun adalah kredit macet dengan kegagalan pengembalian pinjaman sudah lebih dari 90 hari.
Nilai kredit macet sebesar Rp1,43 triliun itu setara dengan 2,8% dari total nilai pinjaman yang sudah disalurkan melalui P2P Lending. Angka itu meningkat dibandingkan posisi 2,36% pada Maret 2022.
Bila menghitung juga nilai pinjaman tak lancar, maka persentase pinjaman bermasalah serta macet di industri yang masih seumur jagung itu mencapai Rp5,01 triliun, atau 9,82% dari total kredit yang telah disalurkan.
Ratusan ribu lender menggantang asap
Nilai pinjaman macet sejatinya adalah dana investor yang bertindak sebagai lender atau pemberi pinjaman melalui aplikasi P2P Lending. Sampai Maret lalu, tercatat sebanyak 142.451 rekening pemberi pinjaman yang terdiri atas 138.838 adalah lender individual dan sisanya merupakan lender institusi seperti bank umum, bank daerah, bank rakyat hingga multifinance dan modal ventura.
Lender dari luar negeri juga ada meski jumlahnya masih minoritas yaitu sebanyak 262 pemberi pinjaman.
Kendati jumlahnya mayoritas, sejauh ini nilai pinjaman yang disalurkan oleh lender perorangan sejauh ini masih berkisar Rp6,29 triliun, jauh di bawah nilai pinjaman yang diberikan oleh lender institusi yang nilai penyaluran pinjamannya mencapai Rp22,63 triliun.
Kredit macet didominasi peminjam individu
Tingginya angka kredit macet di sektor P2P Lending itu didominasi oleh peminjam individual alias perorangan. Pada Maret lalu, peminjam individu mencatat kredit macet hingga Rp1,42 triliun sedangkan peminjam institusi mencatat kredit macet mencapai Rp290,79 miliar.
Hal itu sejatinya pola yang sudah berlangsung lama dengan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, pada Maret 2022 nilai pinjaman yang macet baru sebesar Rp866,64 miliar dengan peminjam individu mencatatkan kredit macet sebesar Rp777,32 miliar.
Tren kredit macet di P2P lending tanah air mungkin akan mempengaruhi minat para pemilik dana menjajaki cuan dari transaksi peminjaman dana ke debitur. Risiko macet semakin tinggi walau itu memang diimbangi juga dengan tingkat pengembalian alias return rate yang cukup tinggi, terlebih bila dibandingkan instrumen investasi yang lebih konservatif seperti obligasi, sukuk ritel apalagi deposito perbankan.
Sebagai gambaran, melalui P2P lending, seorang lender berpeluang mengantongi cuan di atas 12% per tahun. Contoh, bila seseorang menempatkan dana untuk dipinjamkan pada debitur di aplikasi P2P lending KoinWorks, misalnya, ia berpeluang mendapatkan pengembalian hingga 18% per tahun.
Hal yang sama juga ditawarkan P2P lending Amartha. Dengan simulasi penempatan dana Rp30 juta untuk 50 minggu dan disalurkan bagi peminjam dengan grade A, seorang lender berpeluang mengantongi keuntungan hingga Rp3,45 juta hanya dalam 50 pekan pinjaman saja.
Bandingkan dengan tingkat kupon yang diberikan oleh Sukuk Ritel yang cuma berkisar di bawah 7% per tahun. Dibandingkan deposito bank digital, tingkat return P2P lending juga masih jauh unggul. Namun, perlu diingat, kesemuanya tentu sebanding dengan tingkat risiko investasi.
Bila peminjam dana tidak mengembalikan, lender tidak bisa apa-apa. Untuk mengeliminasi risiko, seorang lender bisa menempuh diversifikasi pemberian pinjaman untuk berbagai jenis produk pinjaman, bisa juga dengan mengecek grade atau tingkat kualitas serta risiko peminjam. Jalan lain untuk menekan risiko adalah dengan mengasuransikan pinjaman yang diberikan.
Asuransi jadi pertanyaan
Seorang investor di P2P lending mengaku ia menyadari risiko dana tidak kembali bila memberikan pinjaman melalui akun fintech. "Tapi, risiko itu bisa diukur dengan memberi pinjaman pada debitur grade A. Lebih lagi ada asuransi yang bisa diklaim bila terjadi masalah pengembalian dana," jelas investor pemula yang banyak menempatkan dana di P2P lending itu tapi menolak menyebut namanya.
Ia mengaku pernah merasakan kerugian investasi sebagai lender di salah satu akun P2P lending. "Nilai kerugian cuma ratusan ribu dan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan untung yang sudah saya kantongi dari memberi pinjaman di akun P2P lending lain," jelasnya.
Sebelum huru-hara kredit macet menerpa industri P2P lending belakangan, ia mengaku sudah menarik semua dana di P2P lending menyusul banyaknya keluhan para investor P2P lending di berbagai grup media sosial seperti telegram.
Nasib lender berbeda-beda. Menilik polemik yang masih hangat menerpa salah satu P2P lending Investree, ada banyak lender yang "boncos" di mana uang yang ia pinjamkan melalui Investree tidak kembali bahkan setelah masa jatuh tempo lewat dari setahun.
Akun Moeerka misalnya menyebut, “pinjaman sudah telat 398 hari dan 367 haru, tapo asuransi tidak pernah dijalankan, dalam perjanjian [jika] telat lebih dari 90 hari sama dengan klaim asuransi,” papar dia.
Masih dari akun yang sama, dia sempat mendapatkan penjelasan dari Investree. Dikatakan oleh customer service, semua terjadi imbas dari Covid-19. Juga banyak yang gagal bayar, jadi pihak asuransi lagi memilah pinjaman yang telat bayar.
“Jadi maksud asuransi dalam perjanjian telat 90 hari itu fungsinya apa? Hanya slogan aja buat menarik borrower? Sungguh terlalu kalau sistem kerja Investree begitu,” tulisnya.
Pihak Investree merespon keluhan sejenis dengan jawaban template. “Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang Anda alami. Tim Investree terus berupaya melakukan penagihan sesuai koridor hukum yang berlaku dan menginformasikan update secara berkala ke email yang terdaftar. Jika ada pertanyaan lebih lanjut bisa menghubungi cs@investree.id. Keluhan juga bisa dialamatkan via akun Telegram @InvestreeBot, dan atau telepon 1500886 pada jam kerja.
CEO Investree yang juga bertindak sebagai Co-Founder Adrian Gunadi tidak merespon pertanyaan yang diajukan oleh Bloomberg Technoz, sampai saat tulisan ini dipublikasikan.
(rui/dba)