Logo Bloomberg Technoz

Energi Rusia

Dia juga mencontohkan soal Rusia, yang ketika berkonflik dengan Ukraina terpaksa harus mencari pangsa pasar baru setelah dilarang untuk mengekspor sumber daya energinya ke Eropa. 

“Mereka berpikir. Salah satunya dia masuk ke wilayah Asia Pasifik. Nah, ini sedang kita bahas apakah kita tangkap kesempatan ini [impor minyak Rusia],” ujarnya.

Sementara itu, India merupakan pasar yang besar bagi ekspor batu bara Indonesia. Purnomo menyebut impor minyak Indonesiaa yang tinggi masih dapat diimbangi dengan ekspor batu bara. Tidak hanya ke Negeri Bollywood, ekspor batu bara ke China juga banyak mendatangkan keuntungan bagi Indonesia.

“Saya pernah ditanya oleh delegasi dari Amerika. Kenapa sih kamu kok ke China? China itu mau bawa duit ke Indonesia. Jadi saya juga bilang sama mereka. Bring the money. Ayo dong tarik dong money, perlu. Di dalam PDB, kuncinya itu di investasi dan konsumsi, kemudian ekspor-impor,” jelasnya.

Batu Bara Afsel

Selanjutnya, Purnomo mencontohkan kisah Afrika Selatan yang sektor energinya dahulu juga pernah di embargo, tetapi negaranya hanya memiliki batu bara saja. Kemudian, Afrika Selatan berhasil melakukan gasifikasi batu bara dan melikuifaksi batu bara untuk dijadikan gas.

Purnomo mengungkapkan pengalaman Afrika Selatan dalam memanfaatkan batu bara dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia, terutama setelah Indonesia menjadi anggota BRICS, yang di dalamnya ada Afrika Selatan juga.

Indonesia, kata dia, sebetulnya memiliki cadangan batu bara yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga 150 tahun ke depan.

“Akan tetapi, ada problem yang terjadi di Sumatra Selatan kemarin. Apa problemnya? Batu bara sudah dilikuifaksi. Jadi DME [dimetil eter], tetapi waktu dia diadu di market, dia kalah [harga DME tidak kompetitif dibandingkan] dengan LPG. Kenapa? Karena LPG-nya disubsidi harga. Itu masalahnya,” ungkap Purnomo.

Purnomo menegaskan pentingnya membandingkan harga DME dari batu bara dengan LPG secara adil. Sebab, DME dapat bersaing dengan LPG jika harga batu bara dijual sekitar US$10/ton.

Namun, realitasnya, harga batu bara saat ini mencapai US$120 per ton dan diperkirakan terus naik karena tingginya permintaan ekspor dari China dan India. Hal ini, menurut Purnomo, menjadi tantangan besar dalam mengembangkan DME sebagai alternatif LPG.

"Jadi, waktu itu saya sampaikan kepada pemerintah harus dibandingkan apple to apple," paparnya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS dapat membuka peluang untuk kerja sama dalam energi baru terbarukan (EBT), termasuk dalam pengembangan biodiesel.

Menurutnya, Indonesia berpeluang membangun kerja sama biodiesel dan bioetanol dengan Brasil, sebagai sesama anggota BRICS. Kemudian, RI juga membuat kerja sama mineral kritis untuk transisi energi dengan Afrika Selatan. 

“Karena Presiden Prabowo lebih mendorong pengurangan impor BBM [bahan bakar minyak], dan dorong bioenergi atau biodiesel, dan bioetanol,” kata Bhima.

Bhima menyebut hal itu diyakini akan menjadi pembahasan dalam momen Konferensi Perubahan Iklim dengan nama resmi Conference of the Parties (COP) ke-30 di Brasil pada 2025.

“Di mana kesepakatan antarnegara soal pengembangan bioenergi yang menjadi titik temu Brasil dan Indonesia; yakni [presiden Brasil dan Indonesia] Lula [Luiz Inácio Lula da Silva] dan Prabowo,” tutur Bhima.

Di sisi lain, Bhima tidak menyarankan Indonesia membeli minyak dari Rusia karena risikonya akan sangat tinggi. Menurut dia, risiko itu terjadi karena ada potensi sanksi yang bisa dikenakan ke Indonesia jika terafiliasi dengan minyak Rusia.

Mulai dari hambatan tarif bagi produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), dicabutnya berbagai fasilitas perdagangan termasuk generalized system of preference (GSP) yang membuat barang RI kurang kompetitif, hingga dikucilkan dari forum internasional karena pro Rusia.

“Posisinya jadi sangat dilematis. Alih-alih mendapat harga minyak diskon dari Rusia, biaya-biaya untuk mitigasi risikonya jauh lebih besar lagi,” tutur Bhima.

(mfd/wdh)

No more pages