Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom menilai keputusan penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) bersifat terlalu terburu-buru dan mengalami perubahan 180 derajat dari posisi kebijakan sebelumnya.

Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi mengatakan masih terlalu dini bagi BI untuk mengubah haluan kebijakan tanpa mengonfirmasi rilis inflasi Consumer Price Indeks Amerika Serikat (AS).

"BI mungkin dalam posisi yang tidak nyaman jika inflasi inti CPI AS lebih kuat dari perkiraan dengan pemulihan dalam inflasi layanan inti, di mana rupiah dapat melemah ke kisaran Rp16.500-Rp16.900/US$ dalam beberapa hari ke depan dan imbal hasil SUN 10 tahun akan meningkat menjadi 7,50%," ujar Lionel dalam keterangannya, dikutip Kamis (16/1/2025).

Menurut Lionel, BI menghadapi dilema, di mana posisi kebijakan untuk menjaga stabilitas rupiah di kisaran Rp15.300-Rp15.700/US$ pada 2025 menjadi terlalu mahal. Hal ini terbukti dari penurunan proyeksi pertumbuhan PDB 2025 BI ke kisaran 4,70%-5,50% dari sebelumnya 4,80%-5,60%.

Selain itu, tidak ada jaminan rupiah akan menguat dalam waktu dekat. Bahkan, pasar memproyeksikan dolar AS yang lebih kuat setelah pelantikan Donald Trump pada 20 Januari 2025 mendatang.

"Dengan kata lain, BI menghadapi kekalahan dalam upaya mencapai stabilitas rupiah yang artifisial. Oleh karena itu, keputusan BI untuk mengubah arah kebijakannya dapat dipahami," ujarnya.

"Melihat skenario ini, kami melihat BI mengambil risiko besar dalam jangka pendek dengan membalikkan posisi kebijakannya saat ini."

Kendati demikian, Lionel mengatakan kesediaan BI untuk mengambil risiko besar dalam jangka pendek didorong oleh keyakinannya terhadap fundamental ekonomi makro Indonesia.

Hal itu tercermin melalui informasi yang didapatkan ihwal keputusan Kementerian Keuangan untuk melakukan pengetatan pengeluaran pada Desember 2024, khususnya dengan membatalkan pencairan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang diperkirakan sebesar Rp140-Rp150 triliun, untuk menjaga kehati-hatian fiskal.

"Kami mengonfirmasi informasi ini melalui analisis terhadap rilis realisasi anggaran negara terkini, serta diskusi dengan berbagai bank daerah (BPD)," ujarnya.

Selain itu, perbaikan surplus perdagangan kuartal IV-2024 menjadi US$9,09 miliar dari US$6,51 miliar pada kuartal III-2024.

Alasan BI

Sebelumnya dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada Rabu (15/1/2025), Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan salah satu alasan penurunan BI rate dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sisi permintaan.

Terlebih, data-data ekonomi pada triwulan IV 2024 menunjukkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih rendah dari perkiraan.

BI memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk keseluruhan 2024 di bawah 5,1%. Tak hanya 2024, bank sentral juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi kisaran 4,7–5,5%. Padahal sebulan sebelumnya, BI masih menyakini ekonomi 2025 bisa tumbuh di kisaran 4,8–5,6%.

Perry menjelaskan alasan pesimistis ini karena ekspor diprakirakan lebih rendah sehubungan dengan melambatnya permintaan negara-negara mitra dagang utama, kecuali Amerika Serikat. 

"Konsumsi rumah tangga juga masih lemah, khususnya golongan menengah ke bawah sehubungan dengan belum kuatnya ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja. Pada saat yang sama, dorongan investasi swasta juga belum kuat karena masih lebih besarnya kapasitas produksi dalam memenuhi permintaan, baik domestik maupun ekspor," ujar Perry dalam konferensi pers, Rabu (15/1/2025).

Selain itu, keputusan penurunan suku bunga acuan juga diambil karena BI melihat mulai adanya kejelasan arah pemerintah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump dan kebijakan bank sentral Federal Reserves atau the Fed terkait suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR).

Perry tidak menampik bahwa masih ada ketidakjelasan, tetapi BI masih bisa menakar dampak kebijakan pemerintah AS terhadap defisit fiskal, kenaikan US Treasury dan penurunan suku bunga.

"Masih bisa menakar arah kebijakan AS untuk defisit fiskal untuk tahun besar mulai kelihatan menjadi 7,7% dan berapa besarnya dampak terhadap kenaikan ke US Treasury 2 tahun dan 10 tahun, juga arah FFR yang semula [pemotongan] 50 basis poin, kami mulai paham kemungkinan tahun ini hanya sekali 25 basis poin," ujarnya.

Selanjutnya, BI juga mencermati tingkat inflasi Indonesia yang rendah dan nilai tukar yang relatif stabil serta sejalan dengan fundamental saat ini.

(dov/lav)

No more pages