Dominasi dolar membuat perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan kebijakan ekonomi AS, seperti potensi kebijakan tarif yang dapat kembali diterapkan Trump.
"Langkah-langkah ini, seperti tarif impor tinggi pada barang-barang dari negara berkembang, cenderung meningkatkan indeks dolar AS secara signifikan dan menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah," ujarnya.
Untuk mengurangi risiko ini, kata Achmad, diversifikasi cadangan devisa menjadi kebutuhan yang mendesak. Menurutnya, BI perlu memperluas portofolio cadangan devisa dengan mata uang negara-negara aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS), yang makin memainkan peran penting dalam perdagangan internasional.
"Penggunaan yuan atau rupee dalam transaksi perdagangan, misalnya, dapat menjadi langkah awal untuk mengurangi ketergantungan pada dolar dan meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah," ujarnya.
Selain diversifikasi mata uang, BI dapat mengeksplorasi pembiayaan non-konvensional melalui kerja sama dengan negara-negara di luar aliansi Barat dan Uni Eropa.
Sebagai gambaran, lembaga keuangan multilateral seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan New Development Bank (NDB) menawarkan peluang untuk mendukung proyek-proyek pembangunan di Indonesia tanpa harus bergantung pada sumber pembiayaan tradisional.
"Langkah ini tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperkuat hubungan strategis dengan negara-negara berkembang lainnya," ujarnya.
Sebagai contoh, pembiayaan proyek infrastruktur dengan skema yang lebih fleksibel dapat membantu mengurangi tekanan pada anggaran negara sekaligus membuka peluang investasi yang lebih besar dari mitra-mitra non-tradisional. Kerja sama semacam ini juga dinilai dapat menjadi katalis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi tawarnya di kancah ekonomi global.
Sebelumnya dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada Rabu (15/1/2025), Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan salah satu alasan penurunan BI rate dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sisi permintaan.
Terlebih, data-data ekonomi pada triwulan IV 2024 menunjukkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih rendah dari perkiraan.
BI memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk keseluruhan 2024 di bawah 5,1%. Tak hanya 2024, bank sentral juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi kisaran 4,7–5,5%. Padahal sebulan sebelumnya, BI masih menyakini ekonomi 2025 bisa tumbuh di kisaran 4,8–5,6%.
Perry menjelaskan alasan pesimistis ini karena ekspor diprakirakan lebih rendah sehubungan dengan melambatnya permintaan negara-negara mitra dagang utama, kecuali Amerika Serikat.
"Konsumsi rumah tangga juga masih lemah, khususnya golongan menengah ke bawah sehubungan dengan belum kuatnya ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja. Pada saat yang sama, dorongan investasi swasta juga belum kuat karena masih lebih besarnya kapasitas produksi dalam memenuhi permintaan, baik domestik maupun ekspor," ujar Perry dalam konferensi pers, Rabu (15/1/2025).
Selain itu, keputusan penurunan suku bunga acuan juga diambil karena BI melihat mulai adanya kejelasan arah pemerintah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump dan kebijakan bank sentral Federal Reserves atau the Fed terkait suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR).
Perry tidak menampik bahwa masih ada ketidakjelasan, tetapi BI masih bisa menakar dampak kebijakan pemerintah AS terhadap defisit fiskal, kenaikan US Treasury dan penurunan suku bunga.
"Masih bisa menakar arah kebijakan AS untuk defisit fiskal untuk tahun besar mulai kelihatan menjadi 7,7% dan berapa besarnya dampak terhadap kenaikan ke US Treasury 2 tahun dan 10 tahun, juga arah FFR yang semula [pemotongan] 50 basis poin, kami mulai paham kemungkinan tahun ini hanya sekali 25 basis poin," ujarnya.
Selanjutnya, BI juga mencermati tingkat inflasi Indonesia yang rendah dan nilai tukar yang relatif stabil serta sejalan dengan fundamental saat ini.
(dov/lav)