Logo Bloomberg Technoz

Saat itu, pemerintah diprotes karena mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari sebelumnya tujuh produk, tetapi empat di antaranya mengikuti harga minyak dunia seperti avtur, avgas, bahan bakar minyak (BBM), dan solar.

Skema itu dilakukan untuk dialihkan menjadi bantuan tunai langsung (BLT) dari hasil produk yang mengikuti harga dunia. Sementara subsidi langsung dilakukan agar tepat sasaran dan tidak menyasar pada orang kaya.

"Maka katakan kalau orang kaya jangan dong pakai BBM disubsidi, kasihan. Jadi waktu itu saya tingkatkan dari 7 produk, 4 market price. Uang yang kita dapat itu kita kembalikan ke rakyat miskin untuk BLT. Kemudian yang 3 [sisanya] RON88 sekarang Pertalite, kemudian solar sekarang B40, dan ketiga minyak tanah menjadi LPG," jelas Purnomo.

Dalam situasi itu, pemerintah mulai menghitung bagaimana target bauran EBT sebesar 23%. Kala itu, diakui memang dengan kondisi perekonomian yang terjadi target EBT sebesar 23% dapat tercapai hingga 2025.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengakui capaian bauran EBT di Indonesia baru mencapai 14,1% pada 2024. Capaian tersebut masih jauh target sebesar 23% di tahun ini.

Eniya juga mengaku heran dari mana perhitungan dalam menetapkan target bauran EBT 23% pada 2025. Untuk itu, saat ini aturannya disebut sedang dalam revisi berdasarkan tinjauan ulang Presiden Prabowo Subianto.

"Ini memang masih jauh dari target tadi 23%. Terus kita balik tanya dahulu menetapkan 23% hitungan mana sih? Kita pun bertanya begitu. Upaya penetapan capaian EBT ini akhirnya kita RPP-kan," imbuh Eniya.

Dominasi Batu Bara

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung sebelumnya memaparkan, sampai dengan Agustus 2024 saja, hegemoni batu bara dalam sistem ketenagalistrikan di Tanah Air menembus 67%.

Realisasi tersebut melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang mematok penggunaan pembangkit batu bara sebesar 65,72% dalam bauran energi primer nasional.

"Dari realisasi, ternyata ketergantungan kita terhadap energi batu bara ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan target. Masih sekitar 67%," kata Yuliot dalam kegiatan Electricity Connect 2024, akhir November.

Di sisi lain, realisasi bauran energi primer dari gas hingga Agustus mencapai 17% dari target APBN 17,72%; panas bumi 5% dari target 5,33%; air 7% dari target 6,88%; biomassa belum terealisasi dari target 1,02%; BBM (+BBN) 4% dari target 3,06%; dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya 0% dari target 0,25%.

“Ya tentu dalam rangka bagaimana kita mengurangi emisi, khususnya emisi rumah kaca, kita mengharapkan ke depan untuk bauran energi ini bisa kita lakukan penyesuaian. Dengan demikian, mayoritas energi baru terbarukan itu bisa disediakan,” tutur Yuliot.

Yuliot juga memaparkan masih banyak ruang pemanfaatan yang bisa dilakukan untuk mendorong potensi pemanfaatan EBT di Indonesia.

Misalnya, dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang memiliki potensi sebesar 3.294 gigawatt (GW), tetapi yang baru termanfaatkan sekitar 675 MW.

Kemudian untuk hidro atau, Indonesia memiliki potensi sekitar 95 GW, sedangkan yang termanfaatkan baru sekitar 6,6 GW. Lalu, untuk bioenergi, potensinya sekitar 57 GW, sementara pemanfaatannya baru sekitar 3,4 GW.

Untuk angin, Indonesia memiliki potensi sekitar 155 GW dan baru termanfaatkan sekitar 152 GW. Adapun, potensi dari pembangkit laut sebanyak 63 GW belum termanfaatkan. Panas bumi memiliki potensi 23 GW dan pemanfaatannya baru sekitar 2,5 GW.

Khusus gasifikasi batu bara, kata Yuliot, sektor ini merupakan potensi yang belum dimanfaatkan dengan jumlah tak tercatat. Di dalam pelaksanaanya, Indonesia baru memanfaatkan gasifikasi batu bara sebesar 250 MW.

"Jadi ini potensinya range-nya cukup besar. Tentu ini merupakan bagian yang bisa kita konsolidasikan. Bagaimana antara potensi dengan pemanfaatan itu bisa gap-nya tidak terlalu jauh," ucap Yuliot.

(mfd/wdh)

No more pages