Logo Bloomberg Technoz

1. Sekolah unggulan berpotensi melanggar konstitusi

Ubaid mengatakan sekolah unggulan ini bisa jadi bernasib sama dengan yang dialami RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Terlebih, guru-gurunya juga akan diimpor dari luar negeri. Sekolah unggulan model ini dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2013.

Saat itu, MK menyatakan bahwa RSBI bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam UUD 1945, bahwa layanan pendidikan itu harus berkeadilan dan dapat diakses untuk semua anak, bukan untuk kalangan dengan ekonomi tertentu saja.

"Sebab, sekolah unggulan ini biasanya akan dihuni oleh mayoritas anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Karena, merekalah yang punya akses lebih pada sumber-sumber belajar,"kata Ubaid.

2. Memperparah kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia

Ubaid membeberkan data pisa 2022,  bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Salah satu biang keroknya adalah dipicu oleh tingginya kesenjangan mutu antar sekolah di berbagai daerah. 

"Jika ini tidak diatasi segera, maka ketimpangan ini akan menjadi momok dan kutukan mutu pendidikan Indonesia yang hanya jalan di tempat, bahkan ada kecenderungan terjadi penurunan,"ujar Ubaid.

3. Melanggengkan ketimpangan kelas/kasta

Sistem sekolah yang memisahkan anak-anak berdasarkan status sosial dapat memperkuat ketimpangan kelas atau kasta di masyarakat. 

Anak-anak dari keluarga miskin akan terus terperangkap dalam siklus ketidaksetaraan, sementara anak-anak dari keluarga lebih mampu mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sekolah unggulan. 

"Ini dapat memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada dan sulit diatasi," ujarnya.

4. Diskriminasi dalam layanan pendidikan

Ubaid mengatakan layanan pendidikan itu harus bersifat inklusif, justru jangan diskriminatif. Dengan memisahkan siswa berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi, diskriminasi dalam layanan pendidikan dapat terjadi.

Anak-anak dari keluarga miskin mungkin tidak mendapatkan layanan pendidikan yang setara dengan anak-anak dari keluarga kaya. Ini akan mengakibatkan perbedaan dalam kualitas pendidikan yang diterima dan peluang masa depan yang berbeda bagi masing-masing kelompok. 

"Dengan sistem yang saat ini berjalan, ada model sekolah dan model madrasah, ini saja banyak layanan Pendidikan yang dibeda-bedakan, baik untuk peserta didiknya maupun guru-gurunya. Apalagi ada model sekolah baru lagi, pasti menambah daftar masalah diskriminasi dalam pelayanan Pendidikan,"katanya.

5. Memunculkan labelisasi dan stigmatisasi yang negatif

Penamaan "sekolah rakyat untuk anak miskin" ini tentu dapat menciptakan labelisasi dan stigmatisasi negatif terhadap siswa yang belajar di sana. 

Mereka pasti dianggap sebagai siswa “kelas dua” atau tidak sebaik siswa di sekolah unggulan. Stigma ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademis siswa, serta persepsi teman sebaya dan masyarakat terhadap mereka. 

"Stigmatisasi ini akan memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, dan semakin memarjinalkan kelompok anak miskin yang sudah rentan dan memperpetuasi siklus diskriminasi,"tandasnya.

3 rekomendasi untuk Presiden RI dan jajaran kementerian:

1. Lakukan pemetaan dan pemerataan mutu sekolah

Ubaid menyebut gagasan sekolah unggulan itu jangan hanya diterapkan di sekolah dan wilayah tertentu, tapi harus bisa diterapkan di seluruh sekolah yang tersebar di Indonesia. 

Kemudian juga didukung berbasis data dan pemetaan di berbagai wilayah, sebab terkait dengan strategi intervensi yang berbeda-beda. 

"Jadi mestinya semua sekolah adalah unggulan untuk semua rakyat, jangan hanya yang berprestasi secara akademik saja. Sebab, semua anak adalah berprestasi berdasarkan potensinya yang berbeda-beda, jangan hanya diukur dari sisi akademik belaka,"katanya.

"Karena itu, konsep unggulan jangan dipisah dengan rakyat. Sebab semua rakyat adalah berprestasi dan tugas pemerintah adalah menyediakan sekolah yang inklusif dan berkualitas unggulan untuk semuanya,"tambahnya.

2. Pastikan semua anak dapat jatah bangku sekolah

Saat ini masih jutaan anak di Indonesia yang tidak bersekolah. Menurut pangkalan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, per Januari 2025, tercatat jumlah anak tidak sekolah (ATS) adalah 3.846.375 anak. 

Ini dipicu oleh ketersediaan bangku sekolah yang tidak mencukupi, akibatnya sistem PPDB kita menggunakan model seleksi. Jadi ada yang lulus kebagian bangku, dan tidak sedikit pula mereka yang tidak lulus lalu putus sekolah. 

"Ini jangan sampai terjadi lagi di 2025. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dan semua mendapatkan akses ke sekolah. Ini berarti menyediakan cukup tempat dan fasilitas untuk setiap anak agar mereka bisa belajar dengan baik. Daerah yang tidak ada atau kurang jumlah sekolahnya, ya harus ditambah. Ini menyangkut right to education for all yang tidak bisa ditawar,"tambahnya.

3. Alokasikan anggaran untuk penuntasan program wajib belajar

Supaya program wajib belajar, 12 tahun dan akan ditambah menjadi 13 tahun, ini bisa tuntas dan bermutu, maka alokasi 20% dari APBN dan APBD harus diperioritaskan ke program ini. 

Ubaid menyebutkan jangan seperti periode lalu, justru anggaran pendidikan dihabiskan oleh program yang jauh dari penuntasan program wajib belajar. 

"Misalnya, ternyata dimanfaatkan untuk pendanaan 24 kementerian yang bukan skala prioritas, dan juga penggunaan anggaran pendidikan untuk sekolah-sekolahh kedinasan. Kesalahan ini tidak boleh diulang lagi di tahun ini dan tahun-tahun mendatang," tandasnya.

(dec/spt)

No more pages