Namun, lonjakan wisatawan asing memicu ketidakpuasan publik. Mereka memadati transportasi umum, restoran, serta tempat wisata yang juga diminati warga lokal.
Di Fujikawaguchiko, sebuah kota di kaki Gunung Fuji, pihak berwenang memasang penghalang di lokasi foto populer yang memperlihatkan Gunung Fuji seolah mengambang di atas toko serba ada untuk mengurangi kerumunan turis.
Sementara itu, di Kyoto, yang lebih parah terkena dampak overtourism, dewan distrik setempat melarang pengunjung memasuki gang sempit di Distrik Gion. Hal ini menyusul perilaku turis yang mengganggu dan mengejar geisha demi foto, fenomena yang kini disebut “paparazzi geisha.” Larangan tersebut dianggap berkontribusi pada kemenangan wali kota baru Kyoto, yang kampanyenya berjanji menekan ekses pariwisata, pada pemilu Februari lalu.
Insiden seperti ini mendorong sejumlah pihak mempertimbangkan pengendalian arus wisatawan dengan menaikkan harga tiket bagi turis asing. Sebagai contoh, Kota Himeji sedang mengkaji kenaikan harga tiket masuk ke kastilnya bagi wisatawan mancanegara.
Jepang juga berupaya mengalihkan permintaan wisata ke daerah pedesaan yang pemulihannya masih lambat, dibandingkan kawasan metropolitan utama yang menjadi pusat pertumbuhan wisata.
Menurut laporan pemerintah yang dirilis Juni lalu, jumlah wisatawan asing di tiga wilayah metropolitan utama pada 2023 meningkat 14% dibandingkan 2019, sementara di daerah pedesaan mengalami penurunan hingga 26%.
(bbn)