Menurut Bank Dunia, perempuan saat ini memiliki kurang dari dua per tiga hak hukum yang dimiliki laki-laki secara global. Tidak ada satu pun negara yang mencapai kesetaraan hukum antara laki-laki dan perempuan. Studi ini, yang mencakup 165 negara sejak 1970, menganalisis berbagai aspek seperti akses ke layanan penitipan anak, kesetaraan upah, dan akses ke pembiayaan seperti pinjaman bank.
Laporan tersebut menemukan hubungan signifikan antara keterwakilan politik dan hak ekonomi perempuan.
Memilih Perempuan
Tahun lalu, perempuan hanya menduduki 26% kursi parlemen dan 23% posisi kabinet, menurut Bank Dunia. Pemilu 2023, yang melibatkan hampir separuh populasi dunia, tidak menghasilkan kemajuan signifikan bagi perempuan.
Beberapa negara mencatat peningkatan, seperti Inggris, Jepang, dan Korea Selatan. Di Meksiko, Claudia Sheinbaum menjadi presiden perempuan pertama. Namun, keterwakilan perempuan di parlemen justru menurun di Prancis, India, dan Pakistan, serta di Parlemen Eropa—penurunan pertama sejak lembaga itu didirikan pada 1979, ujar Silvana Koch-Mehrin, pendiri kelompok internasional Women Political Leaders.
Menurut laporan tersebut, memberikan lebih banyak hak kepada perempuan dan menjadikan mereka peserta yang setara dalam angkatan kerja dapat menggandakan laju pertumbuhan global dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 20%.
Namun, laporan itu mencatat bahwa tidak semua posisi politik memiliki bobot yang sama. Misalnya, anggota dewan politik tingkat rendah tidak memiliki kekuatan yang sebanding dengan menteri kabinet. Mencapai kesetaraan di tingkat tinggi ini bisa memakan waktu lebih lama.
Silvana Koch-Mehrin menekankan pentingnya menggeser diskusi dari isu gender ke isu ekonomi. “Pertumbuhan baik untuk perempuan, tetapi juga menguntungkan seluruh masyarakat,” katanya.
Pertumbuhan ekonomi global telah melambat sejak pandemi Covid-19, dan solusi untuk mengatasi masalah ini sangat penting. Sejak revolusi industri pada abad ke-18, pertumbuhan didorong oleh "pertumbuhan populasi yang besar," menurut Ana Kreacic, mitra dan kepala pengetahuan di Oliver Wyman. Faktor-faktor seperti biaya modal yang rendah, deregulasi, dan perdagangan bebas, yang telah berperan penting dalam tiga dekade terakhir, kini juga menghadapi ancaman.
Laporan Women, Business and the Law yang dirilis Bank Dunia menganalisis sepuluh aspek hukum yang memengaruhi peran perempuan dalam ekonomi. Salah satu temuan penting adalah adanya korelasi antara undang-undang pengasuhan anak yang lebih baik dengan peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Studi ini juga meneliti hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dengan kemampuan perempuan untuk bekerja, serta dampak pendidikan dan pelatihan bagi generasi muda, terutama perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memberlakukan lebih banyak undang-undang yang mendukung pengasuhan anak, partisipasi perempuan dalam dunia kerja dapat meningkat hingga 4% dalam lima tahun. Temuan ini sejalan dengan data Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menunjukkan bahwa secara global, perempuan menghabiskan waktu hampir tiga kali lipat lebih banyak untuk pekerjaan perawatan yang tidak dibayar dibandingkan laki-laki.
Permusuhan dan Ancaman
Laporan ini muncul di tengah meningkatnya serangan terhadap politisi perempuan, terutama di dunia maya. Elon Musk, miliarder teknologi AS, sempat menyebut Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau sebagai “seorang gadis” dalam komentar yang bertujuan merendahkan. Ia juga menyebut Jess Phillips, anggota Partai Buruh Inggris, sebagai “penyihir jahat” karena menolak menyelidiki kasus pelecehan seksual.
Permusuhan ini bukan hal baru. Blair merujuk pada studi Universitas Birmingham yang mencatat 50.000 cuitan merayakan pembunuhan anggota parlemen Inggris Jo Cox pada 2016.
Populisme yang meningkat turut memperburuk suasana ini. “Retorika publik tahun lalu, termasuk dari politisi, banyak mendorong gagasan bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki dan bahkan mempromosikan kekerasan terhadap perempuan,” ujar Blair.
Survei Indeks Kepemimpinan Reykjavik yang dikutip oleh Bank Dunia juga menunjukkan bahwa masyarakat secara umum masih lebih menyukai pemimpin laki-laki dibandingkan perempuan, terutama di kalangan generasi muda. Namun, perlu dicatat bahwa survei ini hanya mencakup negara-negara ekonomi maju anggota G7.
Laporan tersebut menyebut kuota sebagai salah satu solusi untuk mempercepat perubahan. Tea Trumbic, manajer di Women, Business and the Law, mengatakan, “Kuota jangka pendek dapat mempercepat perubahan dan menciptakan akuntabilitas.”
Namun, Ana Kreacic dari Oliver Wyman menekankan pentingnya melihat kuota dalam konteks tren sosial yang lebih besar, seperti beban tanggung jawab perawatan yang lebih besar pada perempuan. “Ini bukan permainan zero-sum,” tambahnya. “Tidak ada perubahan berarti meninggalkan potensi pertumbuhan global sebesar 20%.”
(bbn)