Logo Bloomberg Technoz

Sementara itu, pendistribusian jenis bensin bersih bersulfur rendah tahap awal akan mulai didistribusikan di daerah Sumatra bagian utara (Sumbagut) dilanjutkan ke Sumtera bagian selatan sebagian, kemudian Banten dan Jawa Tengah bagian utara dilanjutkan kemudian pendistribusian di Kalimantan Barat.

Di sisi lain, PT Pertamina Kilang Internasional (KPI) mengakui penerapan standar emisi Euro 4 (E4) di Indonesia berjalan lambat akibat sulitnya pendanaan kilang untuk memproduksi BBM rendah sulfur.

Analis Senior III Perencanaan Strategis RDMP Pertamina Kilang Internasional Yesay Setiawan tidak menampik perseroan memang tertantang, dari sisi pendanaan hingga bentuk kerja sama, dalam memproduksi BBM berkualifikasi kontaminan 50 parts per million (ppm).

“Sampai saat ini sebenarnya pendanaan itu juga masih menantang buat kami. Dari sisi pendanaan, memang kita ada beberapa skenario sebenarnya. Skenario full equity, strategic partner, debt, dan debt equity,” ujar Yesay dalam diskusi Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM yang digelar IESR medio November tahun lalu.

Menurut Yesay, perusahaan juga membandingkan rasio keuangan Pertamina sebagai holding dan KPI sebagai subholding secara entitas. Di sisi lain, ketika hendak berutang kepada lembaga keuangan, KPI juga harus memperhatikan rasio keuangannya sendiri.

“Kalau rasio kita merah, mereka [perbankan] juga enggak mau memberi pinjaman ke kita. Salah satu [opsi pendanaan lainnya] adalah penyertaan modal negara [PMN] melalui KPI ke subholding. Itu juga merupakan salah satu jalan keluar juga sih sebenarnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menyebut investasi yang dibutuhkan untuk empat kilang Pertamina yang dirancang bisa menghasilkan BBM standar Euro 4 diperkirakan mencapai sekitar US$2 milair—US$3 miliar (sekitar Rp31,71 triliun—Rp47,56 triliun).

“Kalau investasi, disclaimer, sekitar US$2 miliar—US$3 miliar. Harga akhir [BBM Euro 4] di konsumen kita mau cari formulasinya, kompensasi harganya; seperti skenario Rp200—Rp500 per liter, range-nya segitu,” ujarnya.

Yesay tidak menampik, secara umum, standar kilang minyak di Indonesia masih menggunakan Euro 2 karena regulasi yang mengatur bahan bakar untuk dijual di dalam negeri belum ketat.

(mfd/wdh)

No more pages