Thailand yang sempat mendominasi sektor industri manufaktur di Asia Tenggara sekarang ketinggalan dari Vietnam dan Indonesia dalam mencarik perusahaan-perusahaan asing memindahkan pabriknya dari China karena upah tinggi dan tenaga kerja berusia semakin tua.
Dunia bisnis khawatir pembagian dana tunai akan kontraproduktif dalam jangka panjang, terutama karena perusahaan-perusahaan ini belum benar-benar pulih dari dampak pandemi. Ekonomi negara itu juga terancam jika pembagian dana tunai dan subsidi benar-benar diterapkan.
"Kami sangat khawatir soal daya saing negara itu terutama dengen Vietnam yang memiliki biaya rendah untuk sektor upah," kata Wiwat Hemmondharop, Wakil Ketua Federasi Industri Thailand.
"Ada juga kekhawatiran peningkatan biasa produksi akan mendorong lebih banyak pabrik manufaktur keluar dari Thailand," tambahnya.
Selain itu ada juga risiko inflasi yang didorong oleh permintaan jika pemerintah baru memiliki pengeluaran besar. Jika harga-harga naik kembali Bank Sentral Thailand akan memutuskan tidak akan mengubah suku bunga acuan yang akan meningkatkan biaya keuangan dan menambah tingkat utang rumah tangga negara itu.
Insitut Penelitian Pembangunan Thailand mengatakan tiga kebijakan populis dari partai-partai utama akan mengeruk dana US$30 miliar dan membuat anggaran membengkak sementara defisit fislkal bertembah. Disebutkan pula bahwa utang negara yang tinggi akan mengancam rating Thailand.
"Kita melihat serangkaian kebijakan pengeluaran besar-besaran dan kami memperhatikan ini dengan rasa khawatir terkait bagaimana pemerintah bisa mendapatkan dana sebesar itu," kata Jereeporn Jarukornsakul, CEO WHA Corp. Pcl. yang merupakan pengembang lahan industri terbesar Thailand. "Penerapan penuh kebijakan-kebijakan itu akan berdampak besar pada biaya produksi dan anggaran negara."
Presiden Federasi Industri Thailand mengatakan bahwa ketika negara besar melambat, biaya produksi yang tinggi akan berdampak negatif pada eskpor Thailand. Nilai ekspor Thailand pada 2022 mencapai US$287 miliar.
Kriengkrai Thiennukul mengatakan produsen akan dipaksa menimpakan biaya-biaya tambahan yang naik, seperti listrik, kepada konsumen yang bisa menekan dunia usaha dan juga rumah tangga.
Komite Bersama bidang Perdagangan, Industri dan Perbankan Thailand mengatakan meskipun pemerintah menurunkan tarif listirk bulan ini, penangguhan kenaikan untuk dunia usaha dan tagihan listrik tinggi rumah tangga akibat cuaca panas ekstrim, dan musim kemarau panjang tahun ini bisa membuat harga pangan naik.
Akan tetapi, perusahaan-perusahaan di sektor riel, pengembang perumahan dan bahan pangan dipandang akan mendapat keuntungan dari pembagian dana tunai ini.
Menurut Peerapong Jarron-Ek, dari Asosiasi Kondominium Thailand, pendapatan yang lebih tinggi akan mendorong konsumsi domestik, sementara tarif listrik murah akan mengurangi biaya produksi.
(bbn)