Menurut Riefky, dinamika eksternal ini membuat BI tidak memiliki banyak fleksibilitas untuk memangkas suku bunga acuan dalam jangka pendek karena hal ini dapat memperburuk arus modal keluar dan makin melemahkan rupiah.
Antara pertengahan Desember 2024 dan pertengahan Januari 2025, arus modal keluar dari Indonesia mencapai US$0,75 miliar, terdiri dari US$0,12 miliar yang keluar dari pasar obligasi dan US$0,63 miliar yang keluar dari pasar saham. Selama periode ini, rupiah melanjutkan depresiasi, mencapai Rp16.195/US$ pada 9 Januari 2025, turun 2,11% dari level bulan sebelumnya sebesar Rp15.860/US$.
Sekadar catatan, memasuki 2025, nilai tukar rupiah masih bergerak melemah. Sepanjang 2025, rupiah melemah 0,14% di hadapan dolar AS dan berada di atas level Rp16.200/US$.
Riefky tidak menampik tingkat inflasi Indonesia pada akhir 2024 turun ke titik terendah sejak tahun 1958, yakni 1,57% secara tahunan atau year-on-year (yoy).
Namun, terlepas dari rekor inflasi yang rendah ini, Riefky melihat BI perlu mempertahankan suku bunga BI tidak berubah di level 6% pada pertemuan RDG perdana 2025 untuk mencegah pelemahan rupiah lebih lanjut.
Senada, Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalia Situmorang memproyeksikan BI Rate tetap ditahan pada level 6% pada RDG yang akan diumumkan hari ini.
Menurut Hosianna, BI akan waspada khususnya dalam menyongsong pelantikan Donald Trump sebagai Presiden ke-47 AS pada 20 Januari 2025 mendatang.
"Perkiraan masih tetap di 6% sejalan antisipasi perkembangan di global, rilis data ekonomi AS yang masih solid sehingga pasar memperkirakan penurunan suku bunga atau Fed Fund Rate tidak terlalu akomodatif," ujar Hosianna.
Konsensus Bloomberg yang melibatkan 38 institusi memperkirakan BI Rate tetap ditahan di 6% dalam RDG kali ini. Seluruhnya memperkirakan begitu. Sepakat bulat, aklamasi, tidak ada dissenting opinion.
(dov/lav)