Sentimen pasar global terpantau masih kalem dengan para investor memperhitungkan kemungkinan kebijakan tarif impor AS di bawah Donald Trump diterapkan secara bertahap.
Selain itu, rilis data inflasi harga produsen (PPI) juga cukup melegakan pasar karena angkanya di bawah ekspektasi. Inflasi PPI pada Desember hanya naik 0,2%, melemah dibanding bulan sebelumnya dan di bawah ekspektasi pasar. Secara tahunan, inflasi PPI di Negeri Paman Sam tercatat naik 3,3%, juga di bawah perkiraan pasar namun meningkat dibanding bulan November yang tercatat 3%.
Gerak pasar masih akan berhati-hati karena nanti malam inflasi harga konsumen (CPI) akan dirilis di mana perhatian investor akan tertuju pada angka CPI inti. Konsensus Bloomberg memperkirakan, inflasi CPI inti pada bulan lalu akan naik 0,3%, sama dengan November.
Bila angkanya lebih kecil ketimbang ekspektasi, optimisme pasar terkait peluang penurunan Fed fund rate sebanyak dua kali tahun ini akan kembali bangkit. Bila itu yang terjadi, indeks dolar AS bisa makin melemah dan memberi ruang penguatan bagi mata uang yang jadi lawannya termasuk rupiah.
Secara teknikal, dilansir dari Bloomberg, pasangan USD/IDR mungkin akan menjebol level tertinggi setelah pengumuman BI rate hari ini sehingga akan menguntungkan posisi beli spot. Para investor kemungkinan akan memakai penembusan garis tren support, level terendah Januari, atau DMA-50 sebagai sinyal untuk mengurangi atau keluar dari posisi beli dolar AS. Atau bisa juga sebagai petunjuk untuk menambah posisi di bawah.
BI rate akan ditahan
Siang hari ini di Jakarta, Gubernur BI Perry Warjiyo dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia akan menggelar taklimat media mengumumkan hasil keputusan pertemuan bulanan.
Konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg dari 38 institusi sampai Rabu pagi ini, menghasilkan angka median 6%. Para ekonom yang disurvei secara bulat memperkirakan BI akan kembali mempertahankan BI rate di level 6%, menimbang ancaman yang masih besar terhadap rupiah.
"Terlepas dari rekor inflasi yang rendah, kami melihat bahwa Bank Indonesia perlu mempertahankan suku bunga BI tidak berubah di level 6,00% pada pertemuan Dewan Gubernur pertama di tahun 2025 untuk mencegah Rupiah melemah lebih lanjut," kata Ekonom Teuku Riefky dari LPEM Universitas Indonesia.
Inflasi RI pada 2024 menyentuh level terendah sepanjang sejarah sejak BPS memulai pencatatan pada tahun 1958. Namun, meski inflasi landai, rupiah masih terancam. Sejak awal tahun ini saja, rupiah sudah melemah 1% dan tidak pernah lagi kembali ke level Rp15.900-an/US$.
Pelemahan rupiah tergilas fenomena strong dollar yang telah menyeret mata uang di seluruh dunia rontok. Menahan BI rate jadi langkah yang tepat karena menurunkannya akan membuat tingkat imbal hasil bakal kian turun dan membuat arus keluar modal asing makin besar.
Antara pertengahan Desember 2024 dan pertengahan Januari 2025, arus modal keluar dari Indonesia mencapai US$ 0,75 miliar, yang terdiri dari US$ 0,12 miliar keluar dari pasar obligasi dan US$ 0,63 miliar keluar dari pasar saham, kata Riefky. "Selama periode itu, rupiah melanjutkan depresiasi, menyentuh Rp16.195/US$ pada 9 Januari 2025, turun 2,11% dari level bulan sebelumnya," kata Riefky.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi bangkit meski masih di kisaran sempit.
Rupiah berpotensi menguat terbatas hari ini menuju resistance terdekat pada level Rp16.240/US$, lalu ada resistance potensial di Rp16.200/US$ dan Rp16.180/US$ sebagai level paling optimis penguatan rupiah dalam time frame daily.
Sementara itu, rupiah memiliki level support psikologis di Rp16.300/US$ dan Rp16.350/US$. Apabila level ini berhasil tembus, maka mengkonfirmasi laju support lanjutan kembali ke level Rp16.400/US$ dalam jangka pendek.
(rui)