Dulu, TELE bernama PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk. Perusahaan fokus pada penjualan voucher pulsa.
Saham TELE sempat menjadi salah satu pilihan favorit investor. Perusahaan milik Hengky Setiawan ini, bahkan sempat mencatat pendapatan hingga Rp27,91 triliun pada 2017, dengan laba bersih Rp418,16 miliar.
PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) juga sempat memiliki 24% saham, karena pada saat itu TELE memiliki hak ekslusif untuk mendistribusikan voucher Telkomsel.
Semua berubah mulai 2020. TELE dinyatakan pailit karena mengalami gagal bayar atas kewajiban senilai Rp3,2 triliun.
Sejak saat itu, TELE merestrukturisasi struktur perusahaan dan berganti nama menjadi seperti saat ini. Entitas usaha yang tak lagi menguntungkan dilepas.
TELE menyisakan bisnis distribusi voucher Telkomsel. Perusahaan kemudian juga ditunjuk sebagai mitra PLN sebagai distributor tunggal terkait dengan kerja sama penjualan token listrik.
Namun, restrukturisasi itu belum membuahkan hasil. Sudah tidak ada lagi pendapatan hingga puluhan triliun.
Per September 2024, pendapatan TELE turun 20% secara tahunan ke level Rp1,86 triliun. Sementara, kerugian membengkak 153,19% menjadi Rp37,34 miliar.
Kemudian, ada juga PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA), yang juga bergerak di sektor sejenis.
Pendapatan emiten Grup Kresna itu naik 12,96% secara tahunan menjadi Rp3,21 triliun per September 2024. Meski naik, kerugian DIVA tercatat Rp222,77 miliar meski angka ini turun 70,79% secara tahunan.
Bendera Putih
Ekonom & Praktisi Pasar Modal Hans Kwee meragukan manuver Bukalapak untuk menghentikan penjualan produk fisik mampu memperbaiki kinerja keuangan.
Tidak menutup kemungkinan, Bukalapak justru hanya akan mengulang strategi yang sama, bakar uang, yang pada akhirnya membuat perusahaan menanggung kerugian yang besar.
"Kalau hanya voucher, ini tidak hanya dilayani oleh marketplace, tapi bank, kemudian fintech juga sudah bisa melakukan semua itu. Artinya, akan ada persaingan yang ketat yang harus dihadapi Bukalapak," jelas Hans.
Jika Bukalapak memang hanya fokus ke sektor tersebut, maka butuh promosi yang masif untuk menarik orang memakai aplikasi platform yang disediakan Bukalapak.
"Question mark atas strategi tersebut, apakah Bukalapak bisa memperbaiki kinerjanya menjadi keuntungan? Kita juga harus memlihat jika Bukalapak sudah tertinggal jauh dalam marketplace dan kalah dengan TikTok, Tokopedia, hingga Shopee," kata Hans.
"Sehingga, Bukalapak tampaknya memang mengangkat bendera putih. Dengan menyisakan bisnis yang saat ini ada, kita juga tidak yakin Bukalapak mampu bersaing dengan segmen yang dia pilih saat ini.
Justru, lanjut Hans, dengan sisa dana Rp9,8 triliun, Bukalapak bisa melakukan lebih dari strategi tersebut.
Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji memiliki pandangan senada. Penggunaan platform digital untuk berbagai macam transaksi memang terus berkembang.
"Hanya saja memang persaingan, dalam penggunaan aplikasi itu tinggi," ujar Nafan.
(red/dba)