Arus keluar modal asing dari pasar surat utang RI terpantau berlanjut. Pada 10 Januari, asing menjual Rp1,037 triliun Surat Berharga Negara, penjualan terbesar sehari sejak awal tahun.
Pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut hingga membuat kekhawatiran para pemodal meningkat akan ancaman likuiditas yang mungkin makin ketat ke depan, seiring langkah bank sentral agresif mengintervensi pelemahan rupiah.
Penyebab gejolak yang meningkat di pasar tak lain karena melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Rilis data pekerjaan AS pada Jumat pekan lalu semakin memupus ekspektasi akan penurunan bunga acuan Federal Reserve tahun ini.
Ekonomi AS terlihat masih begitu tangguh. Ditambah rencana pengenaan tarif impor oleh Presiden terpilih Donald Trump serta pengetatan kebijakan imigran, ada potensi inflasi bisa kembali naik di negeri dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia itu.
Alhasil, peluang pelonggaran moneter turut mengecil. Kala ekspektasi inflasi tinggi, rumus umum bank sentral adalah menahan bunga tetap tinggi, bahkan bila perlu menaikkannya.
Itu yang memicu turbulensi di pasar sejak pekan lalu sampai awal pekan ini, mengingatkan pada terjadinya guncangan ketika Jerome Powell, Gubernur The Fed mengirim sinyal hawkish pasca FOMC bulan Desember silam. Bunga acuan The Fed diprediksi hanya akan turun satu kali, dari tadinya diramal bisa dua kali bahkan tiga kali.
Tingkat imbal hasil Treasury, surat utang AS, melesat hingga melampaui 5% untuk tenor 20 tahun disusul tenor 10 tahun yang sudah di atas 4,7%, tertinggi sejak November 2023.
Tingginya imbal hasil surat utang AS membuat pamor aset investasi yang lebih berisiko seperti saham dan aset-aset emerging market mulai dari surat utang sampai valuta, menjadi tidak menarik.
Dana global tersedot keluar dari aset-aset lebih berisiko itu, memburu Treasury yang memberikan imbalan lebih tinggi.
Sentimen tarif Trump bertahap
Pada pembukaan pasar Selasa pagi ini, sentimen penguatan dolar AS relatif mereda menyusul keluarnya 'bocoran' bahwa tim ekonomi Trump tengah menyusun rencana pengenaan tarif impor secara bertahap. Kabar itu melegakan pasar dan menurunkan sedikit yield Treasury di sesi Asia pagi ini.
Yield UST 2 tahun yang sensitif terhadap kebijakan bunga acuan turun 0,2 bps ke 4,377%. Sedangkan tenor lain masih naik di mana UST-10Y kini di 4,770%, naik 1,1 bps. Tenor 20 tahun juga naik 1,4 bps ke 5,035%.
Indeks dolar AS juga melemah ke level 109,59 setelah dalam intraday trading hari Senin sempat menyentuh 110.
Perkembangan situasi terakhir itu memberi sedikit kelegaan juga bagi pasar domestik. Rupiah dibuka menguat tipis. IHSG yang dibuka turun tipis 0,03% kemudian berbalik menghijau dengan kenaikan 0,2%.
Sementara di pasar surat utang RI, pergerakan yield SUN cenderung variatif. Yield tenor 2Y masih naik ke 7,071%. Sedangkan tenor 5Y jug anaik ke 7,178%.
Adapun tenor acuan 10 tahun sedikit turun ke level 7,276%. Namun, tenor 15 tahun makin meningkat imbal hasilnya ke 7,328%.
"Kami memperkirakan pasar SUN dan INDON akan mengalami konsolidasi hari ini pada rentang masing-masing 7,25-7,30% untuk yield 10Y SUN dan 5,65-5,70% untuk yield 10Y INDON karena pergerakan sideways di pasar US Treasury," kata tim analis Mega Capital Sekuritas di antaranya Lionel Priyadi dan Muhammad Haikal.
Pergerakan pasar minggu ini, menurut analis, akan ditentukan oleh hasil rilis data inflasi AS, yakni inflasi harga produsen (PPI) nanti malam dan inflasi harga konsumen (CPI) pada besok malam.
Laju bulanan inflasi PPI diperkirakan bertahan di 0,40%. Sementara itu, laju tahunan inflasi PPI diprediksi naik menjadi 3,50%. "Perhatian pasar akan tertuju pada komponen inflasi jasa konsumsi yang tidak dipublikasikan secara langsung, tetapi berdampak atas komponen jasa dalam perhitungan inflasi PCE yang menjadi acuan the Fed," kata analis.
(rui/aji)