Logo Bloomberg Technoz

“Akan tetapi, kalau dia langsung ke Indonesia sih, fine-fine saja, tidak ada masalah. India kan impor terus dari Rusia. Mereka juga tidak ada masalah, perjalanannya padahal lebih jauh dibandingkan dengan Indonesia dari Rusia,” kata Moshe.

Menurut Moshe, problem proteksi tanker pengangkut minyak Rusia hanyalah kekhawatiran berlebihan dari berbagai pihak atas potensi retaliasi dari Barat. Dia tetap meyakini masalah itu bisa diatasi melalui negosiasi. 

“[Diancam] 'jangan beli minyak dari Rusia, kalau tidak, nanti kami enggak kasih grant', dikurang-kurangi gitulah. [...] Semua itu cuma bisa-bisanya negara Barat untuk membatasi Rusia, bukan berarti melarang Rusia untuk ekspor sama sekali, walaupun ada ribuan embargo yang diberikan oleh Amerika Serikat [AS] dan sekutunya.”

Opsi mengimpor minyak Rusia menyeruak lagi setelah Indonesia resmi mengumumkan bergabung dalam aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) pekan lalu.

Wacana ini sempat mengemuka pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang menyebut Indonesia terbuka untuk membeli minyak dengan harga murah. Apalagi, sejak 2022, minyak Rusia diganjar batas harga US$60/barel oleh G-7 di tengah upaya Barat membatasi akses pendanaan bagi Kremlin untuk menginvasi Ukraina.

“Itu saya pikir tidak ada masalah. Termasuk ketika kita bergabung dengan BRICS dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia. Selama itu sesuai aturan dan tidak ada persoalan, kenapa tidak?” kata Menteri ESDM Bahlil saat ditemui di kantornya, Jumat (10/1/2025).

Hal tersebut juga diamini Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan pada kesempatan terpisah di kantornya, pekan lalu.

"Ya ke mana saja kalau menguntungkan Republik Indonesia kita beli, kalau kita ada dari bulan kita beli [...] Kalau kita dapat lebih murah US$20 atau US$22 [per barel] kenapa tidak?," ujar Luhut saat ditemui, Kamis (9/1/2025).

Pergerakan harga minyak Brent sampai dengan 13 Januari 2025./dok. Bloomberg

Harga minyak hari ini terus naik hingga diperdagangkan mendekati level tertinggi dalam tiga bulan terakhir, menyusul gelombang baru sanksi AS terhadap industri energi Rusia yang mengancam akan membatasi pasokan minyak mentah di pasar global.

Brent, minyak acuan global, untuk pengiriman Maret naik 2% menjadi US$81,36/barel pada pukul 8:58 pagi di Singapura. Sebelumnya, harga naik hingga $81,49/barel.

West Texas Intermadiante (WTI) untuk pengiriman bulan Februari naik 2,1% menjadi US$78,22/barel.

Sebagai perbandingan, Urals—minyak acuan Rusia —  dilego di US$73,68/barel pagi ini, jauh lebih murah dari Brent, tetapi masih di atas batas harga yang ditetapkan G-7. Urals telah naik 7,55% atau sekitar US$5,17/barel sejak awal 2025,  menurut perdagangan berdasarkan kontrak untuk selisih (CFD) yang melacak pasar acuan untuk komoditas ini.

Paket Sanksi Baru

Jumat pekan lalu, AS memberlakukan sanksi paling agresif dan ambisiusnya terhadap industri minyak Rusia, dengan menargetkan dua produsen dan eksportir besar, perusahaan asuransi, dan lebih dari 150 kapal tanker.

Pergerakan besar-besaran ini terjadi kurang dari dua pekan sebelum Presiden terpilih AS Donald Trump kembali ke Gedung Putih. Walhasil, kilang-kilang lokal India dan China, berpotensi dipaksa mencari pasokan alternatif.

India muncul sebagai pembeli utama minyak mentah Rusia setelah invasi Moskwa ke Ukraina pada 2022, sedangkan Beijing adalah importir utama lainnya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat Indonesia harus siap dengan segala konsekuensi, jika ingin mengikuti jejak India dan China membeli minyak Rusia.

Mulai dari hambatan tarif bagi produk Indonesia ke AS dan Uni Eropa (UE), dicabutnya berbagai fasilitas perdagangan termasuk generalized system of preference (GSP) yang membuat barang RI kurang kompetitif, hingga dikucilkan dari forum internasional karena pro Rusia.

“Posisinya jadi sangat dilematis. Alih-alih mendapat harga minyak diskon dari Rusia, biaya-biaya untuk mitigasi risikonya jauh lebih besar lagi,” kata Bhima saat dihubungi.

Lebih lanjut, Bhima menyebut hal lain yang cukup merepotkan ketika RI bila membeli minyak dari Rusia yakni terbatasnya persoalan perlindungan asuransi perkapalan yang sangat terbatas.

“Biaya asuransi dan logistik menjadi kendala. Minyaknya ada di Rusia, tetapi dikirim sampai ke Indonesia bisa jadi bengkak harganya karena asuransi yang cover risiko terbatas, selain itu transit ke negara lain juga terbatas,” terangnya.

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi

(wdh)

No more pages