Di sisi lain, keanggotaan di BRICS—meski memberi keleluasaan bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan Rusia — tetap tidak akan memengaruhi urusan investasi oleh perusahaan-perusahan dari negara beribu kota Moskwa itu.
“Bukan terus tiba-tiba [Rosneft] jadi berinvestasi karena Indonesia masuk BRICS. Enggak juga. BRICS itu kan lebih ke urusan perdagangan. Apalagi, sekarang ini banyak negara yang khawatir dengan tarif Trump, yang akan memengaruhi perdagangan internasional,” tutur Moshe.
Dia berpendapat fokus utama BRICS—yang pada awalnya dipenggawai Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan — adalah menciptakan aliansi perdagangan dengan menggunakan nilai tukar masing-masing atau nilai tukar alternatif secara bebas, tanpa ada tekanan politik.
Hal ini berbeda dengan iklim perdagangan di World Trade Organization (WTO) yang, menurut Moshe, sarat akan tekanan politik dari negara-negara Barat.
“Makanya kemudian banyak yang tertarik untuk masuk ke BRICS untuk melepas tekanan-tekanan politik tersebut, supaya mereka bisa lebih bebas berdagang dan lebih adil, tanpa ada tekanan politik di belakangnya. Itu yang menjadi daya tariknya BRICS,” ujarnya.
Kementerian Luar Negeri mengumumkan Indonesia resmi bergabung dengan BRICS pada Senin pekan lalu.
Menyusul keputusan tersebut, beberapa pejabat pemerintah mulai mengutarakan opsi membeli minyak Rusia—yang disanksi Barat dengan batasan harga US$60/barel — mungkin akan dibuka kembali, setelah sejak 2022 wacana tersebut tak dieksekusi akibat kekhawatiran terhadap retaliasi Amerika Serikat (AS).
“Itu saya pikir tidak ada masalah. Termasuk ketika kita bergabung dengan BRICS dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia. Selama itu sesuai aturan dan tidak ada persoalan; kenapa tidak?” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, Jumat pekan lalu.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)