Adapun, untuk serapan di dalam negeri sejauh ini juga masih jauh panggang dari api. Permintaan NPI, feronikel, dan nickel matte yang akan diolah menjadi baja nirkarat (stainless steel) masih terbilang rendah seperti halnya permintaan global.
“Permintaan stainless steel dunia itu pun turun karena inflasi tinggi, suku bunga tinggi, pembangunan turun, di China juga lagi ada masalah yang terkait real estat itu,” tuturnya.
Alexander menyarankan pemerintah untuk menunggu momentum yang tepat untuk menerapkan bea keluar NPI, feronikel, dan nickel matte. Tentu saja menunggu situasi kembali kondusif bagi pelaku industri pertambangan maupun smelter nikel yang memproduksi produk nikel kelas dua itu.
“Pajak ekspor itu harusnya diterapkan kalau itu memang bisa membantu negara dan kita,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan keputusan akhir mengenai tarif progresif ekspor NPI, feronikel, dan nickel matte hingga kini masih dibahas di tingkat kementerian.
Dia mengatakan pemerintah tengah menghitung besaran bea keluar yang sesuai dengan tren harga nikel dunia yang cenderung melembam sepanjang tahun ini.
“Ya kami sedang siapkan mengenai itu. Namun, intinya begini, kita sedang mencari semua keseimbangan. Jadi mungkin kemarin-kemarin kita agak cepat memberikan [bea keluar] karena lihat harga [nikel] bagus, sehingga volume produksinya tinggi. Sekarang harga turun, jadi kita mau bawa ekuilibriumnya. Itu sedang dihitung dengan cermat,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Luhut mengonfirmasi pemerintah akan membatasi izin investasi smelter nikel saprolite baru, berbasis teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF), guna menjaga pasok nikel kadar tinggi di dalam negeri.
(rez/wdh)