Menurut Moshe, dari mana pun sumber CPE yang lebih menguntungkan bagi perekonomian, sebenarnya sah-sah saja untuk dimanfaatkan Indonesia. Tidak terkecuali minyak Rusia, yang menjadi sasaran sanksi anggota G-27 sejak invasi ke Ukraina pada 2022.
Moshe berpendapat, Indonesia tidak perlu terlibat dalam seteru Barat dan Rusia terkait dengan embargo sektor migas Negeri Beruang Merah.
Seperti diketahui, AS dan sekutunya menetapkan batasan harga atau rice cap seharga US$60/barel untuk minyak Rusia sejak 2022, guna mengebiri sumber pendanaan Kremlin untuk perang melawan Ukraina.
“Jangan cuma karena takut [pada AS], kita jadi enggak bisa ini, enggak bisa itu. Toh, AS juga enggak mau menanggung selisih harganya kan. Kita juga yang tanggung biaya lebih besarnya kan. Sekarang kan harga minyak lagi tinggi, sudah sejak beberapa tahun terakhir di atas US$70/barel terus,” kata Moshe.
“Nah kalau ada minyak mentah yang lebih cocok sama kilang-kilang kita, terus bisa kita impor dari mereka, ya why not? [Impor] BBM [dari Rusia] juga kalau memang perlu dan kalau memang menguntungkan share ekonomi, why not?”
Harga Urals—acuan minyak Rusia — meningkat US$3,83/barel atau 5,59% sejak awal 2025, menurut perdagangan berdasarkan kontrak untuk selisih (CFD) yang melacak pasar acuan untuk komoditas ini.
Minyak Urals dilego di US$72,34/barel pada penutupan Jumat (10/1/2025), jauh di atas price cap US$60/barel yang ditetapkan Barat terhadap minyak Rusia. Secara historis, Urals mencapai titik tertinggi sepanjang masa di US$117,65/barel pada Februari 2013, menurut data Trading Economics.
Sebagai perbandingan, minyak Brent untuk pengiriman Maret ditutup di US$79,76/barel, naik 3,7% secara harian pada Jumat. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Februari naik 3,6% dan ditutup di US$76,57/barel di New York.
Diversifikasi
Bagaimanapun, Moshe tetap mengingatkan jika Indonesia jadi membeli minyak dari Rusia usai bergabung dalam BRICS, pemerintah diharapkan tetap mempertahankan sumber minyak dari negara lain yang selama ini juga sudah diimpor RI.
“Kita harus bersikap netral. Kalau kita beli dari Rusia, kita juga beli dari yang lain dong. Jadi bukan karena kita pro ke satu kubu, tetapi ini masalah kepentingan ekonomi nasional untuk menekan anggaran impor minyak,” tuturnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sudah memberi sinyal bahwa Indonesia terbuka terhadap peluang mengimpor minyak Rusia yang sedang disanksi—hal yang selama ini hanya berani dilakukan China dan India — usai bergabung dengan BRICS.
“Itu saya pikir tidak ada masalah. Termasuk ketika kita bergabung dengan BRICS dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia selama itu sesuai aturan dan tidak ada persoalan kenapa tidak?” kata Bahlil saat ditemui di kantornya, Jumat (10/1/2025).
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)