Dengan demikian, pemerintah tentu hanya akan mengandalkan ekspor CPO sebagai penerimaan bea keluar pada 2025, bila pada akhirnya benar-benar tidak melakukan relaksasi berupa perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga usai 31 Desember 2024.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui bahwa PT Freeport Indonesia (PTFI) sudah mengajukan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga setelah masa berlakunya habis pada 31 Desember 2024.
“Freeport mereka sudah ajukan [izin ekspor konsentrat] untuk 2025. Kami dari kementerian ESDM lagi membahas, dan sudah dilakukan rapat dengan Kemenko [Bidang Perekonomian] karena ini lintas kementerian,” kata Bahlil usai konferensi pers di Kantor BPH Migas, Selasa (7/1/2025).
Setelah melakukan rapat bersama kementerian terkait, kata Bahlil, dirinya akan rapat bersama Presiden Prabowo Subianto untuk membahas mengenai kelanjutan relaksasi ekspor konsentrat tembaga untuk Freeport.
Aflah menggarisbawahi penerimaan bea keluar itu tentu bergantung harga CPO di pasaran. Sekadar catatan, harga CPO tengah menjalani tren negatif. Dalam seminggu terakhir, harga berkurang 0,95% secara point-to-point.Selama sebulan ke belakang, harga ambruk 13,31%.
Terlebih, kata Aflah, realisasi volume ekspor CPO hanya 36 juta ton pada 2024. Angka ini di bawah asumsi awal 39 juta ton.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menerangkan, ekspor CPO sepanjang tahun (full year) pada 2024 kemungkinan hanya akan tercapai sekitar 27 juta ton, lantaran harga CPO tahun lalu lebih mahal dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti bunga matahari dan kedelai.
Hal tersebut menjadikan permintaan terhadap CPO kurang kompetitif, yang pada akhirnya menekan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia.
“Selain itu, kondisi ekonomi negara-negara importir utama CPO juga kurang bagus. Untuk 2025, [ekspor CPO] diperkirakan masih di sekitar 27—30 juta ton,” kata Eddy.
(dov/lav)