Logo Bloomberg Technoz

Undang-undang ini mencakup perusahaan teknologi seperti Apple, Oracle, dan Google yang menyediakan layanan untuk TikTok. Mereka terancam denda besar jika tetap mendistribusikan aplikasi tersebut. Meskipun TikTok tidak langsung hilang dari perangkat pengguna, ketiadaan pembaruan akan membuat kinerjanya menurun seiring waktu.

'Kekhawatiran Besar'

Pemerintahan Biden membela undang-undang ini dengan alasan keamanan nasional, menyatakan bahwa kendali China atas TikTok dapat digunakan untuk menyebarkan propaganda, memanipulasi platform secara diam-diam, dan mengumpulkan data warga AS untuk kepentingan spionase atau pemerasan.

“Hanya dari aspek pengumpulan data saja, ini menjadi kekhawatiran besar bagi masa depan negara,” ujar Hakim Brett Kavanaugh kepada pengacara TikTok, Noel Francisco.

Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang tersebut pada April lalu setelah mendapat persetujuan dari mayoritas bipartisan di Kongres.

TikTok dan ByteDance berpendapat bahwa undang-undang tersebut mengabaikan hak berbicara. Mereka menyatakan kekhawatiran atas pengaruh asing tidak berdasar, dengan alasan TikTok Inc adalah perusahaan Amerika yang berbasis di California.

Sekelompok pembuat konten juga meminta Mahkamah Agung membatalkan undang-undang ini karena larangan tersebut akan menghilangkan kemampuan jutaan orang Amerika untuk berkomunikasi dengan komunitas yang telah mereka bangun.

Namun, Hakim Clarence Thomas meragukan argumen itu.

“Undang-undang ini tidak menyebut pembuat konten atau pengguna situs. Ini hanya berfokus pada kepemilikan dan kekhawatiran atas manipulasi data atau ancaman keamanan nasional oleh pihak asing,” jelasnya.

Sementara itu, Hakim Neil Gorsuch adalah satu-satunya yang tampak condong untuk membatalkan undang-undang ini. Dia menyebut pembelaan pemerintah terhadap undang-undang tersebut sebagai “paternalistik” dan mempertanyakan mengapa Kongres tidak sekadar mewajibkan TikTok memberikan peringatan kepada pengguna tentang risiko manipulasi China.

“Bukankah kita biasanya berpikir kalau cara paling gampang untuk melawan ucapan yang salah adalah dengan membantahnya?” tanyanya kepada Jaksa Agung Elizabeth Prelogar.

Perdebatan dan Prediksi

TikTok memperkirakan platformnya akan “gelap” jika undang-undang ini berlaku. “Pada dasarnya, platform akan berhenti beroperasi,” kata Francisco.

Namun, Prelogar menyatakan bahwa larangan akan berakhir begitu ByteDance menjual TikTok sesuai persyaratan undang-undang. “Ketika larangan berlaku, ini akan memaksa ByteDance mempertimbangkan langkah-langkah baru,” katanya.

Sementara itu, pelantikan Donald Trump sebagai presiden pada 20 Januari menambah elemen baru dalam kasus ini. Trump, yang sebelumnya mendukung larangan TikTok tetapi kini menentangnya, meminta Mahkamah Agung untuk memblokir undang-undang tersebut agar ia dapat menegosiasikan penyelesaian.

Jika Trump menjabat, Departemen Kehakiman di bawah pemerintahannya akan memiliki kewenangan untuk menegakkan undang-undang tersebut dan menyetujui atau menolak proposal penjualan TikTok.

Risiko Perusahaan

Dalam sesi pengadilan, Hakim Brett Kavanaugh bertanya kepada Jaksa Agung AS Elizabeth Prelogar mengenai kemungkinan mantan Presiden Donald Trump memilih untuk tidak memberlakukan undang-undang tersebut. Namun, Kavanaugh meragukan apakah perusahaan seperti Oracle, Apple, dan penyedia layanan lain yang terkait dengan TikTok akan tetap melanjutkan layanan mereka dalam kondisi itu.

"Mereka tidak akan mengambil risiko kecuali ada jaminan bahwa pernyataan presiden untuk tidak memberlakukan undang-undang tersebut benar-benar dapat diandalkan, karena risikonya terlalu besar, bukan begitu?" tanya Kavanaugh.

Prelogar menjawab bahwa mungkin ada "jaminan yang cukup" untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut tetap beroperasi.

Hakim Samuel Alito sempat mengusulkan agar pengadilan mengeluarkan “penundaan administratif” terkait tanggal berlakunya undang-undang tersebut. Namun, tidak ada hakim lain yang menunjukkan minat pada ide tersebut.

Mahkamah Agung mempercepat penanganan kasus ini setelah TikTok dan sejumlah pembuat konten meminta penundaan sementara atas larangan tersebut. Para hakim akhirnya menjadwalkan sidang khusus yang memungkinkan mereka memberikan putusan definitif terkait konstitusionalitas undang-undang tersebut sebelum 19 Januari.

Pengadilan juga memiliki opsi untuk mengeluarkan perintah sementara, yang menentukan apakah undang-undang dapat diberlakukan pada 19 Januari, sambil memberikan waktu lebih banyak untuk memutuskan pokok perkara dengan opini penuh.

(bbn)

No more pages