Logo Bloomberg Technoz

Chief Investment Officer, Southeast Asia and ASEAN for Private Banking and Wealth Management HSBC James Cheo mengatakan ekonomi Indonesia kemungkinan akan mengalami investasi yang signifikan di bidang infrastruktur dan permintaan domestik yang sehat.

"Aktivitas manufaktur di Indonesia yang tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) menunjukkan tanda-tanda awal pemulihan," ujarnya.

Sekadar catatan, PMI di Indonesia pada Desember adalah 51,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,6. Aktivitas manufaktur Indonesia pada Desember kembali ke zona ekspansi. Kebangkitan ini terjadi setelah kontraksi 5 bulan beruntun.

James mengatakan, inflasi juga diperkirakan akan tetap di bawah level tengah target Bank Indonesia sebesar 2,5%. Sementara itu, defisit fiskal diproyeksikan tetap di bawah 3% dari PDB, yang memungkinkan pemerintah untuk mempertahankan belanja infrastruktur dan kesejahteraan sosial.

”Meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menghadapi tekanan karena US Dolar yang makin kuat, kami tetap optimis dengan rupiah karena daya tarik imbal hasilnya. Kami memperkirakan nilai tukar akan mencapai Rp16.300 per dolar AS pada akhir tahun," ujarnya.

James mengatakan, Bank Indonesia diperkirakan melakukan tiga kali penurunan suku bunga acuan pada 2025, yaitu 35 basis poin di kuartal pertama dan 50 basis poin di kuartal kedua. Dengan demikian, suku bunga acuan diramal akan turun menjadi 5,25% pada Juni dari 6% saat ini.

"Penurunan suku bunga BI di awal tahun ini memperkuat rekomendasi kami untuk berinvestasi lebih banyak pada obligasi Rupiah dan obligasi berkualitas tinggi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara [BUMN],” ujarnya.

Target Pertumbuhan 8% Menantang

Di lain sisi, Pranjul menilai target pertumbuhan ekonomi 8%, yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto, tetap menantang. Selain itu, kebijakan fiskal dan stimulus kebijakan moneter saja dinilai tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ke tingkat tersebut.

"Saya pikir reformasi struktural akan diperlukan, terutama dalam meningkatkan rantai nilai manufaktur, lebih banyak melakukan hilirisasi," ujarnya.

Pranjul menilai Indonesia telah berhasil beralih dari pengekspor bahan baku berupa bijih menjadi memberikan nilai tambah. Namun, hal tersebut perlu ditingkatkan untuk memperkuat rantai nilai seperti untuk baterai kendaraan listrik (electric vehicle) dan barang konsumen, seperti alas kaki, mebel, mainan, dan lainnya.

"Jadi, Indonesia benar-benar perlu melakukan diversifikasi dan juga naik ke rantai nilai manufaktur, dan saya pikir itu akan menjadi penting jika ingin mendekati pertumbuhan 8%," ujarnya.

(lav)

No more pages