Menyitir situs resmi PwC, tingkat kepatuhan pajak di Nigeria memang secara signifikan sangat rendah dibandingkan dengan negara lain, terutama mengingat kapasitas administrasi pendapatan yang lemah untuk menangani penghindaran dan kurangnya data terutama di sekitar sektor informal.
Di lain sisi, Kementerian Keuangan melaporkan total penerimaan pajak sepanjang 2024 tercatat Rp1.932,4 triliun. Angka ini lebih rendah atau hanya 97,2% dari target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang sebesar Rp1.988,9 triliun.
Dengan potensi penerimaan pajak hingga Rp1.500 triliun itu, kata Luhut, Presiden Prabowo Subianto bakal memerintahkan untuk mengalokasikan penerimaan itu kembali ke pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
"Tadi 1.500 triliun, kita asumsikan Rp1.200 triliun bisa kita kumpulkan nanti secara bertahap. Itu Presiden [Prabowo] sudah memerintahkan akan terus nanti mengalokasikan kepada seperti UMKM untuk mendorong daya beli dari kelas menengah bawah," ujarnya.
Kepatuhan Pajak RI Rendah
Dalam kesempatan tersebut, Luhut juga mengatakan tingkat kepatuhan pajak di Indonesia rendah. Sebagai gambaran, Luhut mengatakan, jumlah mobil dan sepeda motor di Indonesia berkisar 100 juta, tetapi yang membayar pajak kendaraan hanya 50%.
"Ada mobil dan sepeda motor mungkin 100 juta lebih yang bayar pajak cuma 50%. Jadi anda bisa bayangkan kepatuhan kita itu sangat rendah. Sangat rendah," ujarnya.
Sekadar catatan, Bank Dunia mencatat sekitar seperempat perusahaan di Indonesia melakukan tindakan penghindaran pajak alias tax evasion.
Lemahnya kepatuhan pembayaran pajak di Indonesia menjadi salah satu faktor utama mengapa penerimaan pajak di Indonesia rendah. Penghindaran pajak lebih sering terjadi pada perusahaan non-eksportir, juga kalangan usaha yang menganggap administrasi pajak sebagai beban besar dan menghadapi persaiangan informal yang kuat.
Sekitar setengah dari perusahaan di Indonesia melaporkan bahwa mudah bagi mereka menghindari pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebagian yang lain menganggap kepatuhan pajak terlalu rumit terutama di kalangan usaha kecil. Tantangan itu mencerminkan kelemahan dalam administrasi pajak dan kurangnya insentif kepatuhan sukarela yang disebabkan oleh kompleksitas dan rendahnya kesadaran pajak, menurut Bank Dunia.
"Kepercayaan para pembayar pajak atau kompleksitas sistem perpajakan dapat berperan dalam menentukan pilihan mereka untuk melalukan penggelapan," kata Senior Economist Bank Dunia Rong Qian, dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Outlook di Jakarta.
(dov/lav)