Logo Bloomberg Technoz

Menurut Rezasyah, BRICS juga menjadi wadah untuk membangun solidaritas di antara negara-negara berkembang dalam menghadapi dominasi negara-negara maju.

"Dengan BRICS, Indonesia bisa memperkuat posisinya dalam negosiasi perdagangan global, sehingga tidak terlalu bergantung pada negara-negara Barat yang kerap menerapkan hambatan non-tarif," ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.

Sementara itu, Dafri Agussalim, dosen Hubungan Internasional UGM, menambahkan bahwa bergabungnya Indonesia ke BRICS mencerminkan upaya memperluas independensi politik luar negeri, khususnya dalam menghadapi tekanan dari rezim internasional yang didominasi negara-negara maju.

"Di BRICS, Indonesia memiliki ruang lebih besar untuk menentukan arah kebijakan ekonomi dan perdagangan tanpa terbelenggu oleh aturan yang selama ini cenderung menguntungkan negara-negara Barat," jelasnya.

Keuntungan lain yang diharapkan adalah penguatan posisi diplomasi Indonesia. Melalui keanggotaan di BRICS, Indonesia dapat menggunakan strategi "diplomasi hedging" untuk meningkatkan daya tawar dalam hubungan dengan negara-negara Barat.

Tantangan dan Risiko yang Dihadapi

Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia (24/10/2024). (Dok. Kementerian Luar Negeri)

Meski menjanjikan, keanggotaan di BRICS bukan tanpa risiko. Rezasyah menilai bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi perubahan sistem perdagangan yang lebih kompetitif. Produk-produk Indonesia akan berhadapan langsung dengan produk dari negara-negara anggota BRICS lain, seperti China dan India, yang memiliki daya saing tinggi.

Dafri Agussalim menggarisbawahi risiko lain, yakni kemungkinan respons negatif dari negara-negara Barat. "Kita harus siap menghadapi reaksi, seperti peningkatan tarif, hambatan non-tarif, atau bahkan pengurangan investasi dari negara-negara Barat," katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia masih bergantung pada sistem keuangan global yang didominasi dolar AS. Jika tidak ada kesiapan untuk beralih, Indonesia dapat menghadapi instabilitas ekonomi.

Tantangan internal juga menjadi perhatian, terutama terkait kesiapan regulasi domestik. "Kita harus mengubah pola kebijakan yang selama ini sangat bergantung pada rezim internasional seperti WTO. Apakah kita sudah siap dengan perubahan itu?" tanya Agussalim.

Implikasi Politik Luar Negeri

Di sisi politik, Agussalim melihat adanya ambisi dari Presiden Prabowo Subianto untuk membawa Indonesia ke panggung global, seperti yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada masa lalu.

Namun, ia mengingatkan bahwa langkah ini memerlukan koordinasi yang solid antara berbagai kementerian, terutama Kementerian Luar Negeri, agar kebijakan yang diambil tetap sejalan dengan kepentingan nasional.

"Saat ini terlihat bahwa diplomasi Indonesia cenderung terpusat pada presiden, dengan peran Menlu yang minim. Ini berisiko karena dunia internasional sangat sensitif terhadap pernyataan yang spontan dan tidak terkoordinasi," kata Agussalim.

Selain itu, hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN juga perlu dijaga agar tidak terlihat mengabaikan kawasan sendiri demi ambisi global. Keseimbangan antara peran di BRICS dan komitmen di ASEAN menjadi kunci untuk memastikan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tetap relevan di berbagai level.

(del/roy)

No more pages