Dia mengatakan, tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah. Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menambahkan kepesertaan Indonesia di BRICS bisa dinilai sebagai upaya memperkuat hubungan tidak hanya dengan China, tapi dengan Brasil dan Afrika Selatan maupun negara Timur Tengah.
“Pemerintah sebaiknya tidak melihat BRICS hanya agenda China saja, tapi ada potensi besar dengan negara Brasil terkait ekonomi restoratif, hingga Afrika Selatan soal pengembangan transisi energi bersih," ujar Bhima.
"Jika terlalu pro-China maka keanggotaan Indonesia di BRICS sebenarnya sia-sia mereplikasi hubungan ekonomi dengan China yang sudah terlalu dominan.” lanjut Bhima.
Awal 2025, Indonesia resmi mengikuti jejak beberapa negara dari kawasan MENA (Middle East and North Africa) memperpanjang daftar anggota negara yang bergabung dengan blok ekonomi terbesar BRICS. Hal ini telah diumumkan secara resmi di Kementerian Luar Negeri Brasil, Sao Paulo, sekaligus menjadi lanjutan rangkaian episode prosesi bergabungnya Indonesia ke aliansi tersebut, yang sebelumnya dimulai pada Oktober tahun lalu, setelah kehadiran Menteri Luar Negeri Sugiono di Kazan.
Di dalam negeri, bergabungnya Indonesia dengan BRICS masih menimbulkan pro kontra. Beberapa pengamat berpendapat aliansi ini akan menjadi penyeimbang G7 yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Sebagai anggota grup BRICS yang baru, Indonesia berpeluang untuk berpartisipasi dalam solidaritas negara Global South dalam mengurangi hegemoni Barat yang ada saat ini.
Tidak hanya itu, kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada China masih menghantui Indonesia. Menurut Yeta Purnama peneliti CELIOS, seharusnya Indonesia lebih gencar mendiverifikasi mitra secara bilateral untuk survive dari ketidakpastian ekonomi global di masa yang akan datang.
“Potensi kerja sama multilateral tentu akan menguntungkan tapi jika itu di circle yang sama, ketika ekonomi negara anggota yang mendominasi seperti China melemah, maka akan rentan berdampak pada stabilitas ekonomi di dalam negeri.” tutur Yeta.
Menurut dia, bergabung dengan BRICS bisa dikatakan berisiko, terutama jika terlalu fokus pada China. Untuk menghindari risiko ini, Indonesia perlu memainkan peran dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis.
"Seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang, dan mengarahkan investasi kepada proyek yang bisa memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota," papar dia.
Selaras dengan hal tersebut, Indonesia perlu memainkan peran untuk mendorong kerja sama green invesment negara anggota dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan.
"Jika berbicara Global South, sebetulnya urgensi utama yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi investasi sektor ekstraktif. Jadi BRICS diharapkan juga menyoroti potensi kerja sama green investment untuk green growth dalam beberapa tahun mendatang," tandasnya.
(lav)