Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom menilai Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump tak nyaman dengan langkah aliansi BRICS yang berniat melakukan dedolarisasi. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian ekonomi global karena perang dagang antara China dan AS yang meruncing, disertai ancaman tarif perdagangan selangit oleh AS terhadap negara-negara anggota BRICS lain.

Muhammad Zulfikar Rakhmat, Ekonom sekaligus Direktur China-Indonesia Desk Center of Economic and Law Studies (Celios) berpendapat, keputusan Pemerintah Indonesia bergabung dalam aliansi BRICS akan menyeret Indonesia terlibat dalam perang dagang, juga ancaman tarif AS sebagai langkah proteksionisme dagang.

Sebagai informasi, BRICS merupakan organisasi kerja sama ekonomi global yang namanya berasal dari akronim nama negara-negara pendirinya, yakni Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Awalnya, BRIC dibentuk pada 2006 untuk memfokuskan perhatian pada peluang investasi di antara negara-negara anggota.

Sementara itu, dedolarisasi merupakan sebuah langkah untuk memutus ketergantungan pada dolar AS untuk perdagangan internasional.

“Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, US memberlakukan tarif 100% pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut," kata Zulfikar, Rabu (8/1/2025).

Dia mengatakan, tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah. Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menambahkan kepesertaan Indonesia di BRICS bisa dinilai sebagai upaya memperkuat hubungan tidak hanya dengan China, tapi dengan Brasil dan Afrika Selatan maupun negara Timur Tengah. 

“Pemerintah sebaiknya tidak melihat BRICS hanya agenda China saja, tapi ada potensi besar dengan negara Brasil terkait ekonomi restoratif, hingga Afrika Selatan soal pengembangan transisi energi bersih," ujar Bhima.

"Jika terlalu pro-China maka keanggotaan Indonesia di BRICS sebenarnya sia-sia mereplikasi hubungan ekonomi dengan China yang sudah terlalu dominan.” lanjut Bhima.

Awal 2025, Indonesia resmi mengikuti jejak beberapa negara dari kawasan MENA (Middle East and North Africa) memperpanjang daftar anggota negara yang bergabung dengan blok ekonomi terbesar BRICS. Hal ini telah diumumkan secara resmi di Kementerian Luar Negeri Brasil, Sao Paulo, sekaligus menjadi lanjutan rangkaian episode prosesi bergabungnya Indonesia ke aliansi tersebut, yang sebelumnya dimulai pada Oktober tahun lalu, setelah kehadiran Menteri Luar Negeri Sugiono di Kazan.

Di dalam negeri, bergabungnya Indonesia dengan BRICS masih menimbulkan pro kontra. Beberapa pengamat berpendapat aliansi ini akan menjadi penyeimbang G7 yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Sebagai anggota grup BRICS yang baru, Indonesia berpeluang untuk berpartisipasi dalam solidaritas negara Global South dalam mengurangi hegemoni Barat yang ada saat ini.

Tidak hanya itu, kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada China masih menghantui Indonesia. Menurut Yeta Purnama peneliti CELIOS, seharusnya Indonesia lebih gencar mendiverifikasi mitra secara bilateral untuk survive dari ketidakpastian ekonomi global di masa yang akan datang.

“Potensi kerja sama multilateral tentu akan menguntungkan tapi jika itu di circle yang sama, ketika ekonomi negara anggota yang mendominasi seperti China melemah, maka akan rentan berdampak pada stabilitas ekonomi di dalam negeri.” tutur Yeta.

Menurut dia, bergabung dengan BRICS bisa dikatakan berisiko, terutama jika terlalu fokus pada China. Untuk menghindari risiko ini, Indonesia perlu memainkan peran dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis.

"Seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang, dan mengarahkan investasi kepada proyek yang bisa memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota," papar dia.

Selaras dengan hal tersebut, Indonesia perlu memainkan peran untuk mendorong kerja sama green invesment negara anggota dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan.

"Jika berbicara Global South, sebetulnya urgensi utama yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi investasi sektor ekstraktif. Jadi BRICS diharapkan juga menyoroti potensi kerja sama green investment untuk green growth dalam beberapa tahun mendatang," tandasnya.

(lav)

No more pages