Menurutnya, mayoritas industri belum sepenuhnya merasakan skema program HBGT yang ada selama ini atau mendapatkan harga US$6/MMBtu. Tujuh sektor industri yang ditetapkan sebagai penerima HGBT bahkan beberapa di antaranya membeli gas dengan harga US$7,5/MMBtu.
“Bukannya memperbaiki permasalahan yang di skema sekarang justru malah menunda untuk memberikan HGBT gitu. Jadi pada akhirnya sulit sekali industri kita itu untuk dibantu,” tegas Andry.
Kebijakan HGBT sedianya tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No. 91/2023. Lalu, Peraturan Presiden (Perpres) No. 121/2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Program tersebut berakhir pada 31 Desember 2024.
HGBT ditentukan serendah US$6/MMBtu untuk 7 sektor industri yang mencakup industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Alarm Industri
Di sisi lai, Andry menyebut seharusnya kondisi dunia industri saat ini sudah menjadi alarm bagi pemerintah. Dia memerinci, pada tahun lalu saja cukup banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur. Bahkan, angka peningkatannya dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Akan tetapi, sepertinya pemerintah acuh begitu ya terhadap kondisi yang ada saat ini,” imbuhnya.
Berdasarkan satu data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari—Desember 2023 terdapat 64.855 orang tenaga kerja yang ter-PHK. Sementara itu, berdasarkan data sementara Kementerian Ketenagakerjaan pada periode Januari hingga awal Desember 2024, sudah ada sekitar 80.000 orang tenaga kerja yang ter-PHK.
Andry menjelaskan tingginya biaya energi—seperti harga gas yang mahal — akan membebani biaya produksi sektor industri. Ketika biaya produksi meningkat, harga produk yang dijual pun ikut terkerek. Saat ini, padahal, daya beli masyarakat tengah lesu dan belum cukup stabil.
“Kita melihat juga bahwa permintaan di dalam negeri terhadap produk domestik ini juga menurut saya kalah dengan produk-produk impor. Karena apa? Kalau dari segi biaya mereka jauh lebih kompetitif untuk produk impor ini, dan juga ada support dari negara mereka. Jadi banyak juga produk-produk impor yang dumping masuk ke dalam negeri,” jelas Andry.
Jika hal ini terus dibiarkan, kata Andry, industri harus menanggung biaya yang cukup besar. Pada akhirnya industri di Tanah Air tidak akan kompetitif, tidak hanya untuk ekspor melainkan untuk menjual produknya sendiri di dalam negeri.
“Maka dari itu, menurut saya HGBT ini harus tetap dilanjutkan bahkan bisa diperluas sektornya tidak hanya 7 sektor,” ucap Andry.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan pelaku industri akan melakukan PHK jika HGBT tidak kunjung memiliki kepastian.
Dia pun meminta Presiden Prabowo Subianto dapat melanjutkan program HGBT tahun ini dengan regulasi yang telah ditetapkan sebelum 100 hari masa kerja pemerintahan Kabinet Merah Putih.
“Pemanufaktur dan investor wait and see nih, bila lewat 100 hari [masa kerja pemerintahan baru], maka deindustrialisasi mulai dan kepercayaan investor akan merosot. Dikhawatirkan, ada ancaman PHK bila ketidakpastian kelanjutan HGBT tidak di-release dalam 100 hari, padahal gelombang PHK terus berlanjut sejak 2024,” kata Yustinus saat dihubungi, Rabu (8/1/2025).
Yustinus mengutarakan momentum menjaga aktivitas manufaktur perlu diupayakan di tengah penurunan daya beli masyarakat dan daya saing produk sebelum Indonesia memasuki Ramadan pada Februari.
Di sisi lain, sektor manufaktur juga tengah mempersiapkan penurunan produksi. Dia menyebut pesanan yang sudah diterima dan pesanan mendatang nantinya akan menggunakan stok barang yang telah ada.
“Kalau order baru diterapkan dengan biaya produksi, harga selangit maka buyer pasti kabur. Begitu buyer kabur, sangat sulit untuk menarik kembali,” tutur dia.
(wdh)