Logo Bloomberg Technoz

Menyitir data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 2024, Indonesia memiliki 190 proyek smelter nikel, terdiri dari; 54 smelter yang sudah beroperasi, 120 yang sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.

Dari 190 smelter tersebut, hanya 8 atau 9 di antarannya yang memiliki teknologi berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang membutuhkan nikel limonit dan sisanya berbasis rotary kiln-electric furnace (RKEF) yang mengolah nikel saprolit.

Adapun, pemerintah disebut-sebut mempertimbangkan pemangkasan kuota penambangan nikel dalam jumlah besar pada 2025 untuk mendongkrak harga yang tengah merosot, serta lebih menyesuaikan dengan kebutuhan industri pengolahan.

Narasumber Bloomberg menyebut jumlah bijih nikel yang diizinkan untuk ditambang pada 2025 hanya akan sebanyak 150 juta ton. Angka itu merosot drastis dari rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel yang diizinkan sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.

Periode 2024—2026, Kementerian ESDM menyetujui sebanyak 292 permohonan RKAB pertambangan nikel, tetapi hanya 207 di antaranya yang diizinkan berproduksi.  

Hingga saat ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengaku masih mengevaluasi berapa volume produksi yang akan diizinkan untuk pertambangan nikel pada 2025. Akan tetapi, dia melempar sinyal bahwa produksi memang harus dijaga agar harga tidak makin jatuh.

Menurut Bahlil, kementeriannya tengah menghitung berapa kebutuhan riil bijih nikel oleh industri smelter. Sebagai perbandingan, Kementerian ESDM menyebut kebutuhan nikel pada 2024 mencapai 210 juta ton, sedangkan produksi yang diizinkan sebanyak 240 juta ton.

“Jangan sampai RKAB-nya diberikan lebih banyak, tetapi penyerapan di industri tidak sesuai,” kata Bahlil dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (3/1/2025).

Dia mengatakan pemberian RKAB yang terlalu besar tanpa mempertimbangkan daya serap industri justru berpotensi menurunkan harga nikel di pasar. Walhasil, penurunan harga tersebut dapat merugikan pelaku usaha termasuk penambang nikel.

“Bukan berarti makin banyak RKAB itu makin baik. Kalau makin banyak kemudian harganya jatuh, ya kasihan teman-teman yang melakukan usaha penambangan nikel. Paling bagus itu RKAB-nya cukup, tetapi harganya stabil dan bagus,” ungkap Bahlil.

Gejala keruntuhan harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton.

Kemerosotan itu dipicu oleh pasar oversupply dari Indonesia yang dibarengi dengan lesunya permintaan, baik dari industri baja nirkarat maupun baterai untuk kendaraan listrik.

Nikel sepanjang tahun lalu menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi

(wdh)

No more pages