"Kami melihat, hal itu kemungkinan hanya sebatas ancaman karena hal ini juga sangat merugikan AS," ujar Analis Doo Financial Futures Lukman Leong, dikutip Rabu (8/1/2025).
Terlebih, Trump saat ini tampak lebih soft dalam kebijakan dan berseberangan dengan janji kampanyenya. Sebagai contoh, Sikap Trump yang justru memihak pada imigran, dalam konteks pemberian visa pekerja H1-B, dan sikap dia terhadap TikTok.
Namun, Trump memang merupakan figur yang unik, menurut Lukman. Sehingga, bisa saja Trump mengubah arah kebijakannya di kemudian hari.
Yang pasti, sponsor utama Trump saat ini adalah Elon Musk. Pengusaha yang mengembangkan Tesla hingga Space X itu memiliki investasi dan kepentingan yang sangat besar di China.
"Tentunya, [Elon Musk] tidak menginginkan kebijakan-kebijakan yang bisa merugikan bisnisnya," kata Lukman.
Gertak Sambal
Analis Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro memiliki pandangan senada.
"Kami juga percaya, dolar AS yang terlalu kuat hanya akan membahayakan industri di AS sendiri," ujar Satria dalam riset.
Ini mengingat penjualan perusahaan besar AS, seperti Apple, Google, Meta, Netflix, Tesla, banyak berasal dari luar negeri.
Sehingga, menurut Satria, tidak lama lagi dolar AS melemah dan bisa terjadi selama berbulan-bulan. "Kondisi ini pada akhirnya akan menguntungkan pasar emerging market," imbuh Satria.
Analis Mega Capital Lionel Priadi juga memandang, risiko di balik masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS kecil.
"Karena [Trump] baru gertak sambal saja," kata Lionel.
Namun, menurutnya, efek bergabung ke dalam BRICS juga netral untuk RI karena tidak memberikan keungungan dagang. "Benefitnya politik saja," kata Lionel.
(red)