“Oleh karena itu, nampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung,” ujar Ridwan.
Padahal, menurut dia, sifat suatu perjanjian seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian. Sementara, addresat norma Pasal 251 KUHD hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung.
Selain itu, Pasal 251 KUHD merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini. Artinya, Mahkamah memandang bahwa norma ketentuan tersebut tidak lagi relevan dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Mahkamah menilai Pasal 251 KUHP justru kerap menjadi tempat berlindung penanggung dalam pembuatan perjanjian asuransi dan dari kewajiban tertanggung. Terlebih, perjanjian asuransi memiliki sifat khusus karena masih didasarkan keadaan atau peristiwa yang belum pasti terjadi.
“Seharusnya pihak penanggung [Asuransi] dapat mempertimbangkan untuk meyakini kesepakatan yang akan diambil dalam menindaklanjuti perjanjian yang akan dibuat bersama dengan pihak tertanggung, bukan menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban tertanggung,” kata Ridwan.
(azr/frg)