Perekonomian Indonesia saat ini masih terhadang keketatan akibat tingkat bunga acuan yang masih tinggi. Pertumbuhan uang beredar masih seret, bahkan sempat mencatat penurunan laju dalam empat bulan beruntun sejak Juli-Oktober bahkan ketika BI rate telah dipangkas 25 basis poin pada September lalu.
Pertumbuhan uang beredar baru sedikit bangkit pada November lalu, naik 7% year-on-year dibanding bulan sebelumnya sebesar 6,8%. Namun, situasi keketatan masih dominan. Suku bunga kredit di perbankan tercatat masih melanjutkan kenaikan sebesar 6 bps pada November ke level 9,22%, terutama karena kenaikan suku bunga kredit baru yang mencapai 9,60%, berdasarkan laporan BI terakhir.
Alhasil, penyaluran kredit pun tidak bisa kencang. Pertumbuhannya pada November melambat, hanya 10,47% yoy, menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan, dari 10,92% pada bulan sebelumnya. Pada saat yang sama, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga hanya naik 7,54% terutama disokong oleh giro di kala laju tabungan dan deposito mengecil, terutama di kelompok nasabah perorangan.
Situasi keuangan ketat dalam perekonomian domestik, bila dilanjutkan tanpa perubahan arah kebijakan, akan menyulitkan roda ekonomi untuk melaju lebih kencang.
Sementara inflasi sudah begitu rendah mengindikasikan permintaan yang lesu. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2024 menjadi yang terendah dalam sejarah sejak Badan Pusat Statistik melakukan pencatatan mulai tahun 1958. Adapun inflasi inti juga mencatat level terendah dalam 20 tahun terakhir di luar periode pandemi Covid-19 kala perekonomian terhantam resesi.
Tren deflasi akibat kelesuan permintaan kemungkinan masih akan berlanjut pada tahun ini. "Dalam skenario di mana harga komoditas pangan dan logam mulia tetap datar, kami perkirakan inflasi tahunan Indonesia akan turun hingga di bawah 1,5% year-on-year pada 2025," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro.
BI Rate Bisa Turun?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diprediksi akan stuck di angka 5% bahkan mungkin lebih kecil, setelah pada 2024 diperkirakan juga melambat di 5%.
Melonggarkan moneter melalui pemangkasan BI Rate, bisa jadi jurus yang sangat dibutuhkan agar ekonomi kembali bergairah.
Bank investasi global asal Inggris, Barclays, memperkirakan, BI Rate masih berpeluang turun sebesar 25 basis poin pada kuartal satu atau dua tahun ini.
"BI kemungkinan akan bersikap 'oportunis' dan bertindak [menurunkan bunga acuan] ketika rupiah mendapat jeda dari penguatan dolar AS," kata Barclays, dilansir dari Bloomberg.
Senada, kajian dari Kantor Kepala Ekonom Bank Mandiri juga melihat potensi serupa. "Tim riset ekonomi Bank Mandiri memprediksi BI Rate masih memiliki ruang penurunan pada 2025," demikian dikutip dari publikasi yang diluncurkan bulan lalu.
Ekonom Bank Mandiri melihat, perbaikan ekonomi domestik akan berlanjut ke depan dan tetap tumbuh di kisaran 5%. Tingkat inflasi domestik juga tetap terkendali dan diperkirakan tumbuh sebesar 2,38% pada 2025.
"BI akan tetap memperhatikan perkembangan data-data global, stance kebijakan The Fed, dan faktor domestik, sebelum melakukan perubahan terhadap suku bunga acuan BI Rate ke depan," kata tim ekonomi Bank Mandiri.
Pasar saat ini relatif sudah memperhitungkan skenario higher for longer bunga acuan The Fed, bank sentral AS, yaitu dengan peluang penurunan bunga acuan hanya dua kali pada tahun ini.
Sejak periode 'New Normal' baru pada 2022 ketika bank sentral AS mengerek bunga acuan secara spartan, BI cenderung 'tersandera' sehingga tidak cukup leluasa menetapkan kebijakan BI rate.
Arus keluar modal asing yang besar menjadi hal yang paling dikhawatirkan karena bisa dengan cepat menenggelamkan nilai rupiah terhadap dolar AS.
Ditambah lagi kala itu lonjakan harga komoditas memaksa Pemerintah RI menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang melejitkan inflasi. BI rate pun naik tak kalah banyak, mencapai 275 basis poin selama periode Juli dari posisi 3,50% menjadi 6,25% pada Agustus lalu. BI rate baru turun satu kali sebanyak 25 basis poin pada September, akan tetapi selanjutnya ditahan di 6% selama empat bulan berturut-turut.
Penyebabnya sebagian besar adalah karena kepentingan menjaga nilai rupiah dari guncangan akibat risiko ketidakpastian global yang bisa memantik capital outflow.
Namun, dengan kini posisi cadangan devisa sudah sangat besar, mencapai US$ 155,7 miliar, yang setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, BI berada dalam posisi lebih kuat dalam menjaga nilai tukar.
Penting juga untuk dicatat, kendati indeks dolar AS yang menjadi pangkal kejatuhan mata uang lawannya di seluruh dunia, termasuk rupiah; sejatinya nilai rupiah saat ini masih undervalued atau jauh di bawah harga wajarnya.
Hasil kajian Bloomberg Intelligence menunjukkan, nilai rupiah kala kajian digelar pada 27 Desember di Rp16.235/US$, mencerminkan undervalued sebesar 9,6%.
Menurut permodelan Behavorial Equilibrium Exchange Rate (BEER) yang digunakan oleh analis Bloomberg Intelligence, nilai wajar pairing valuta USD/IDR adalah di kisaran Rp14.685/US$.
Bukan hanya rupiah yang jatuh di bawah harga wajarnya terhadap dolar AS. Mayoritas mata uang di dunia, juga di Asia, memang trennya akan cenderung lemah tahun ini.
Pasar mungkin akan memperhitungkan tema “beggar-thy-neighbour” pada 2025, dengan pandangan bahwa berbagai bank sentral di Asia mungkin akan lebih bersedia melihat mata uang mereka terdepresiasi untuk melawan dampak negatif terhadap volume ekspor mereka akibat tarif AS.
"Tentu saja, bank sentral mungkin masih mengambil tindakan untuk memperlancar depresiasi mata uang pada berbagai tingkat psikologis, namun tujuannya mungkin adalah untuk memastikan terjadinya pelemahan yang teratur [lebih halus] dan bukannya membalikkan tren. Yuan offshore, peso, dan rupee mungkin mencapai rekor terendah terhadap dolar pada tahun 2025," demikian dikutip dari riset Bloomberg Intelligence.
Rupiah memiliki level psikologis Rp16.500/US$ yang pernah tertembus pada saat pandemi Covid-19, tepatnya di Rp16.575/US$. Level itu akan menjadi titik krusial yang menentukan.
Dalam pernyataan terakhir usai Rapat Dewan Gubernur edisi Desember lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo juga tidak menutup sama sekali pintu peluang penurunan BI Rate.
"Berbagai dampak dari global apa yang baru, kok tidak diturun-turunkan [BI Rate]? Karena perubahan-perubahan ini bacaan kami akan tetap fokus stabilkan nilai tukar karena ketidakpastian makin meningkat. Bukan berarti tidak ada ruang penurunan, tetapi timing is not right yet," kata Perry.
(rui/aji)