“Kita perlu berhati-hati merespons narasi yang disampaikan Trump, mengingat betapa karakternya tidak dapat diprediksi. Harus menunggu terlebih dahulu ketika pelantikan beliau, dan melihat trajectory hubungan AS dengan China dan Rusia di bawah kepemimpinan Trump,” kata Habib.
Langkah Antisipasi
Kendati demikian, sembari menanti kepastian tentang sikap Trump terhadap anggota BRICS, Habib menilai Indonesia perlu melakukan beberapa langkah antisipasi untuk menghadapi ancaman tarif AS.
Pertama, dengan cara selektif terhadap agenda BRICS. Habib menilai Indonesia tidak perlu berpartisipasi aktif dalam semua agenda kelompok tersebut, terutama yang bersifat revisionis dan berpotensi mendatangkan retaliasi atau “hukuman” bagi Indonesia dari negara non-BRICS.
“Kedua, perkuat hubungan bilateral dengan AS. Segera menempatkan duta besar dan memilih duta besar yang mampu berkomunikasi dengan baik, perdalam hubungan dengan key cabinet members serta kongres di AS,” ujarnya.
Keputusan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS diumumkan oleh Kementerian luar negeri kemarin, Selasa (7/1/2025). Melalui BRICS, Indonesia berharap dapat memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dan memastikan aspirasi negara-negara Global South terdengar dalam proses pengambilan keputusan internasional.
“Indonesia memandang keanggotaan di BRICS sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kerja sama dengan negara berkembang lainnya. Ini sejalan dengan prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan pembangunan berkelanjutan,” kata Kemenlu.
Perluasan Lobi
Terkait dengan pakta CMA dengan AS, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan lobi-lobi kerja sama mineral kritis atau CMA yang tengah dilakukan Indonesia dan AS justru akan diperluas dengan melibatkan Kanada dan Australia.
Menurut Airlangga, AS—di bawah pemerintahan Joe Biden — mengusulkan adanya kerja sama pasar yang lebih luas untuk komoditas mineral kritis. Dalam artian, kerja sama CMA nantinya tidak terbatas dalam format bilateral, tetapi multilateral bersama dengan AS dan mitra dagang sekutunya.
“[Perjanjian] yang sekarang ditawarkan multilateral dengan temannya Amerika atau American ally, yaitu Kanada dan Australia. Jadi kita diminta untuk masuk di dalam kerja sama itu,” kata Airlangga kepada awak media, medio Desember.
Airlangga menyebut Indonesia juga telah mengajukan proposal untuk kerja sama mineral kritis tersebut. Sebaliknya, proposal yang diajukan oleh pihak AS pun telah dicermati oleh pemerintah.
“Critical mineral kita dengan Kanada dan Australia, karena kalau kita bicara ekosistem critical mineral, selain nickel-base adalah lithium-base. Untuk lithium-base, kita juga sudah produksi di Morowali dan tempat lain. Jadi kita juga membeli litium untuk diproses di tempat kita.”
Lebih lanjut, Airlangga mengatakan tidak menutup kemungkinan kesepakatan CMA ke depannya akan diperluas hingga ke negara-negara Eropa, terlebih setelah salah satu pabrik baterai di Benua Biru gulung tikar.
Eropa melihat tutupnya pabrik baterai di wilayah mereka disebabkan oleh masalah rantai pasok mineral kritis, sehingga kawasan tersebut pun menilai kerja sama di sektor mineral kritis ke depannya akan sangat penting.
Rencana kerja untuk CMA bakal membuat Indonesia menjadi pemasok kebutuhan baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di AS dalam jangka panjang, yang disepakati oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Presiden AS Joe Biden pada akhir tahun lalu.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Agus Cahyono Adi, mengatakan rencana kerja untuk CMA itu merupakan urusan yang panjang dan membutuhkan kolaborasi dari beberapa negara untuk menciptakan rantai pasok (supply chain).
“Untuk jadi baterai, tidak ada yang semua mineralnya ada di satu negara, itu pasti butuh kolaborasi beberapa negara, jadi lebih ke bagaimana kolaborasi supply chain,” ujar Agus saat ditemui di kantornya, pertengahan Juli tahun lalu.
Selain itu, pembahasan terkait dengan CMA, yang merupakan perjanjian komprehensif, juga bersifat kompleks dan tidak terbatas hanya pada satu isu.
Nantinya, kata Agus, bakal terdapat kerja sama bilateral dan regional dalam lanskap CMA tersebut, sehingga bakal melibatkan banyak negara dan tidak hanya terbatas pada Indonesia dan AS.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi dan Dovana Hasiana
(wdh)