Bloomberg Technoz, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberikan sinyal untuk mengurangi jumlah penerima program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) pada 2025. Kementeriannya saat ini masih mengevaluasi program tersebut sehingga belum bisa diputuskan.
“Saya baru selesai rapat, dan masih kita exercise [uji coba] lagi, karena dari 20 item industri yang dapat HGBT, kami sekarang lagi evaluasi, sebab HGBT itu kan tujuannya adalah untuk memberikan sebuah nilai bisnis yang masuk,” kata Bahlil usai konferensi pers di Kantor BPH Migas, Selasa (7/1/2025).
Bahlil menjelaskan sejumlah perusahaan dengan tingkat pengembalian modal usaha atau internal rate of return (IRR) bagu, maka Kementerian ESDM akan mempertimbangan untuk mengeluarkan perusahaan tersebut dalam daftar penerima HGBT.
“Tetapi kalau yang masih membutuhkan, dan kita lihat IRR-nya belum bagus, itu tetap kita pertahankan [dapat HGBT],” tutur Bahlil.
Bahlil menegaskan sejumlahlah penerima HGBT tersebut masih dibahas sehingga belum ada keputusan final. Kondisi ini membuat pemerintah belum membuat keputusan dan memastikan akan memperpanjang program apakah program HGBT akan diteruskan pada 2025 atau tidak.
“Ada kemungkinan [berkurang], kita lagi ada bahas, tetapi belum final ya,” imbuh Bahlil.

Saat ditanya kapan kepastian akan diumumkan program HGBT tersebut Bahlil belum bisa memastikannya. Di sisi lain, sejumlah industri meminta keputusan HGBT bisa diumumkan sebelum Ramadan atau pada Februari.
“Ya saya sebagai mantan pengusaha kan boleh saja memohon kan. Ya memohon kita pertimbangkan permohonan itu,” ujarnya.
“Ya lebih cepat lebih bahaya lah ya.”
Pada saat program HGBT yang tak kunjung ada kepastian, sejumlah industri mengeluhkan harga yang dijual oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN terlalu mahal.
PGN telah menetapkan harga gas regasifikasi per kuartal I-2025 yakni pada periode Januari hingga Maret 2025 sebesar US$16,77/million british thermal units (MMBtu).
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengeluhkan mahalnya harga gas yang ditetapkan PGN saat pemerintah belum memastikan akan memperpanjang program apakah program HGBT akan diteruskan pada 2025 atau tidak.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengungkapkan imbas belum adanya kepastian tersebut industri keramik dikenakan aturan baru PGN terkait harga gas regasifikasi. Kondisi ini dinilai sangat memberatkan bahkan merugikan industri keramik nasional.
“Ini merupakan harga gas termahal di kawasan Asia Tenggara. Ini berarti setiap pemakaian gas di atas AGIT [alokasi gas untuk industri tertentu], industri dipaksa harus membayar lebih mahal sekitar 2,5 kali lipat dari HGBT US$6,5/MMBtu,” kata Edy saat dihubungi, Selasa (7/1/2025).
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan juga menyebut hal yang sama soal harga gas regasifikasi.
“Sekarang, PGN terapkan harga selangit, US$16,77/MMBtu, padahal HGBT US$6,5/MMBTU,” ujar Yustinus saat dimintai konfirmasi.
Kebijakan HGBT sedianya tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No. 91/2023. Lalu, Peraturan Presiden (Perpres) No. 121/2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
HGBT ditentukan serendah US$6/MMBtu untuk 7 sektor industri yang mencakup industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet, yang berlaku hingga pengujung tahun ini.
(mfd/wdh)