Investor Beralih
Di sisi lain, Edy menyebut asosiasi juga telah mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menyelamatkan industri keramik dari keterpurukan akibat gangguan suplai gas dan mahalnya surcharge yang dikenakan oleh PGN.
“Hal itu mengecewakan investor asing anggota Asaki di sektor sanitary ware. [Investor] telah menyurati Asaki bahwasanya mereka akan menghentikan dan mengalihkan investasi tahap lanjutannya ke negara tetangga karena tidak ada kepastian hukum,” ucap Edy.
Untuk itu, Asaki meminta pemerintah segera memperpanjang kebijakan HGBT untuk industri keramik pada tahun ini dan meminta pemerintah mencari solusi bersama PGN terkait dengan gangguan pasokan gas yang telah berlarut-larut dan tak kunjung selesai.
Kondisi itu membuat pelaku usaha mengalami pembatasan pemakaian gas sekitar 65%—70% dari volume kontrak gas.
Biaya Produksi
Edy menuturkan kebijakan HGBT sangat vital bagi industri keramik lantaran sekitar 30% biaya produksi keramik adalah biaya energi gas sebagai bahan bakar utamanya. Gas tidak bisa disubstitusi dengan bahan bakar lainnya.
“Kehadiran HGBT telah memberikan multiplier effect yang besar seperti investasi baru dan penyerapan jumlah tenaga kerja di samping kontribusi pembayaran pajak kepada negara,” tutur Edy.
Edy mengakui pada awal implementasi kebijakan HGBT 2021—2022 khususnya untuk Jawa bagian Barat bisa membantu pelaku usaha menurunkan besaran komponen biaya energi terhadap total biaya produksi ke level 23%—26% dari sebelumnya 28%—30%.
Sayangnya, kata Edy, kondisi itu tidak berlaku untuk industri keramik yang berada di Jawa bagian Timur karena sejak berlakunya kebijakan HGBT pada 2020 telah dikenakan pembatasan pemakaian atau kuota 70%—75% dari volume kontrak gas.
Seiring berjalannya waktu, gangguan pasokan gas mulai terjadi sejak 2023 hingga sekarang. Kondisi itu makin menekan daya saing industri keramik baik untuk Jawa bagian Barat maupun Timur dengan pembatasan kuota 65%—70%.
Tak hanya itu, pengenaan surcharge sebesar US$13,85/MMBtu sejak Mei 2024 membuat komponen biaya energi makin membengkak dan kembali naik hingga lebih dari 30% total biaya produksi.
Masih Digodok
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjanjikan akan segera memutuskan apakah program HGBT akan diteruskan pada 2025 atau tidak.
Plt Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan aturan baru untuk perpanjangan HGBT saat ini tengah digodok dan memperhitungkan sejumlah aspek, mulai dari pasokan gas hingga penerimaan negara.
“Pemerintah nanti akan menetapkan harganya dengan mempertimbangkan pasokan dan mempertimbangkan kecukupan penerimaan negara,” kata Dadan saat ditemui di kantornya, Jumat (3/1/2025).
Dadan menyebut aturan HGBT yang sebelumnya memang sudah berhenti pada 31 desember 2024, sehingga mulai 1 Januari 2025 atau selama belum ada aturan baru, maka harga gas industri yang berlaku adalah harga komersial.
“Sekarang, kontraknya berdasarkan harga komersial antara pengguna dengan penyedia. HGBT sebelumnya sudah stop pada akhir tahun lalu, tetapi nanti akan ada keputusan pemerintah untuk harga yang baru,” tutur Dadan.
Dadan menegaskan kebijakan HGBT hanya mengatur soal harga, bukan pasokan karena alokasi gas berdasarkan perjanjian jual beli gas (PJBG) sudah ada sebelumnya.
“[Industri] yang dapat HGBT itu yang sudah ada PJBG-nya. Nanti pemerintah yang menentukan harga baru. Namun, kami tetap mempertimbangkan kecukupan pasokan dan penerimaan negara,” imbuhnya.
Kebijakan HGBT sedianya tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No. 91/2023. Lalu, Peraturan Presiden (Perpres) No. 121/2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
HGBT ditentukan serendah US$6/MMBtu untuk 7 sektor industri yang mencakup industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet, yang berlaku hingga pengujung tahun ini.
(mfd/wdh)