Ia menyebut, defisit dan realisasi pembiayaan yang terkontrol menciptakan Silpa pada tahun 2023 sebesar Rp19,38 triliun. Angka ini turun dari SILPA 2022 yang sebesar Rp130,35 triliun.
“Jadi istilah APBN 2023 telah menyediakan payung sebelum hujan itu adalah tepat sekali. Waktu hujan terjadi di 2024 ini harga komoditas drop, batu bara, CPO, itu menyebabkan guncangan, namun kami telah menyediakan payung di 2023,” ucap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (20/8/2024).
Sekadar catatan, realisasi penerimaan negara per akhir 2024 adalah Rp2.842,5 triliun. Angka ini 101,4% dari target APBN, yang berarti melampaui perkiraan.
Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu adalah Rp3.350,3 triliun. Ini sama dengan 100,8% dari target, yang juga di atas ekspektasi.
Dengan demikian, APBN 2024 mengalami defisit Rp507,8 triliun. Setara dengan 2,29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang sesuai dengan perkiraan.
"Pada laporan semester I, kami perkirakan defisit bisa mencapai 2,7% PDB. Defisit bisa diturunkan ke level 2,29% PDB seperti desain awal. Ini menjadi fondasi kesehatan APBN untuk mendukung kinerja pemerintahan terpilih," ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Senin (6/1/2025).
Sementara itu, keseimbangan primer membukukan defisit Rp19,4 triliun. Jauh lebih rendah ketimbang proyeksi dalam Laporan Semester I yang mencapai Rp110,8 triliun.
"Realisasi keseimbangan primer bahkan lebih rendah dari APBN awal yaitu Rp 25,5 triliun," ujar Sri Mulyani.
Keseimbangan primer adalah selisih antara pendapatan negara dengan belanja negara, di luar pembayaran bunga utang. Keseimbangan primer merupakan indikator yang menggambarkan kemampuan pemerintah dalam membayar pokok dan bunga utang.
Keseimbangan primer yang defisit mencerminkan utang lama harus dibayar dengan penarikan utang baru. Dalam istilah sehari-hari disebut gali lubang-tutup lubang.
(dov/lav)