Malaysia, misalnya. Kementerian Keuangan Malaysia memperkirakan ekonomi Negeri Harimau Malaya tumbuh 5% pada 2024.
Sedangkan di Thailand, kementerian keuangan Negeri Gajah Putih memperkirakan ekonomi 2024 tumbuh 2,7% pada 2024.
Di Filipina, kementerian perencanaan pembangunan memperkirakan PDB 2024 tumbuh dalam kisaran 6-6,5%.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah pertumbuhan ekonomi 2024 bisa mencapai asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang sebesar 5,2%?
Sepertinya tidak. Kementerian Keuangan memperkirakan ekonomi Ibu Pertiwi pada 2024 tumbuh di kisaran 5%.
Jika terwujud, ini akan menjadi yang terlemah dalam 3 tahun terakhir.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pertumbuhan ekonomi 5% bukanlah pencapaian yang dapat dianggap enteng. Menurut Bendahara Negara, Indonesia bisa mencapainya di tengah situasi yang sangat menantang.
"Pada semester I, kita mengalami tekanan luar biasa. Waktu itu el nino yang terjadi pada akhir 2023 dan terus meningkat menyebabkan kekeringan yang menciptakan kondisi harga pangan meningkat.
"Di Indonesia, inflasi volatile foods meningkat. Inflasi semester I sudah 3,1% karena volatile foods," papar Sri Mulyani.
Di sektor keuangan, lanjut Bendahara Negara, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve memberi sinyal bahwa penurunan suku bunga acuan mungkin tertunda atau lebih kecil dari perkiraan semula. Akibatnya, terjadi aliran modal keluar yang menekan nilai tukar rupiah. Pada Juni, rupiah mencapai Rp 16.421/US$.
"Capital outflow juga menekan pasar SBN (Surat Berharga Negara). Yield (imbal hasil) pada April-Juni mencapai 7,2% untuk tenor 10 tahun. Padahal Desember 2023, yield masih 6,5%. Kenaikannya hampir 700 basis poin," jelasnya.
Pada semester II, Sri Mulyani bilang, perbaikan mulai terjadi. Tekanan kenaikan harga minyak mereda, meski eskalasi di Timur Tengah masih tinggi. Harga komoditas andalan ekspopr Indonesia seperti batu bara, nikel, dan minyak sawit mentah (CPO) pun mulai pulih, bahkan sebagian mengalami kenaikan.
"Tekanan terhadap yield juga mereda, pada Desember sekitar 7%. Nilai tukar rupiah menguat ke Rp 16.162/US$," tuturnya.
Ada Masalah Daya Beli?
Akan tetapi, ada pandangan lain seputar pertumbuhan ekonomi Indoneia yang melambat. Sejumlah kalangan menyuarakan ada pelemahan daya beli, yang berarti kemerosotan konsumsi rumah tangga.
Di Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembentukan PDB. Jadi saat pos ini melambat, maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sejumlah indikator seakan memberi konfirmasi bahwa ada penurunan daya beli. Paling nyata adalah inflasi. Penurunan kondisi ekonomi membuat rakyat menahan konsumsi sehingga dunia usaha terpaksa tidak menaikkan harga terlalu tinggi, atau bahkan menurunkannya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi Tanah Air sepanjang 2024 adalah 1,57%. Ini menjadi yang terendah dalam sejarah pencatatan, di mana Indonesia kali pertama membukukan data inflasi pada 1958.
Inflasi yang rendah bisa dipandang sebagai cerminan lemahnya permintaan. Ini terlihat dari data proporsi penghasilan yang dikeluarkan untuk konsumsi (propensity to consume).
Pada November, rasionya adalah 74,4%. Turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 74,4%.
Sepanjang 2023, rata-rata propensity to consume adalah 75,27%. Tahun lalu hingga November, rata-ratanya ada di 73,82%. Jadi, memang ada gejala yang jelas bahwa rakyat mengerem konsumsi.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson melihat rendahnya inflasi di Indonesia terutama karena permintaan yang masih lesu.
“Tekanan harga dari sisi permintaan memudar, dengan penelusuran kami menunjukkan adanya pelemahan konsumsi, investasi, dan manufaktur,” kata Henderson dalam risetnya.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai inflasi rendah, apalagi sampai deflasi, apapun sebabnya merupakan hal negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Sebab, lagi-lagi menggambarkan ada kelesuan daya beli.
"Sangat kuat tendensi bahwa inflasi rendah dipicu oleh penurunan daya beli, apalagi tren deflasi ini terjadi sepanjang Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September. Sangat sulit diterima pandangan bahwa terjadi suplai berlebih pada 5 bulan itu," tegas Wijayanto.
(aji)