Logo Bloomberg Technoz

Sementara berdasarkan data Kementerian Keuangan RI yang dikompilasi oleh Bloomberg Technoz, kepemilikan asing di SBN selama 2024 hanya bertambah Rp37,48 triliun menjadi sebesar Rp879,53 triliun.

Terakhir kali investor asing membukukan pembelian SBN dengan nilai lebih kecil dari itu adalah pada 2011 silam. Pada tahun tersebut, kepemilikan asing di SBN hanya bertambah Rp26,56 triliun.

Itu menjadi nilai penambahan terkecil secara tahunan oleh investor asing sejak 2011, di luar periode pandemi Covid 2020-2021, serta periode pasca pagebluk pada 2022 lalu kala terjadi lonjakan inflasi di seluruh dunia menyusul perang Ukraina dan disrupsi rantai pasok global. Pada periode pengecualian itu, kepemilikan asing terkontraksi berturut-turut selama tiga tahun yaitu sebesar Rp129,15 triliun pada 2022, lalu Rp82,57 triliun pada 2021 dan sebesar Rp87,95 triliun pada 2020.

Nilai kenaikan kepemilikan asing di SBN pada 2024, menurun hampir separuh dari tahun sebelumnya. Pada 2023, kepemilikan asing di SBN masih mampu membukukan kenaikan sebesar Rp79,86 triliun, berdasarkan data Kementerian Keuangan RI.

Kepemilikan asing di SBN (Bloomberg)

Sementara di pasar saham, mengacu laporan BI, pemodal asing mencatat posisi net buy pada 2024 sebesar Rp15,74 triliun. Ini menjadi capaian positif mengingat pada 2023, asing mencetak net sell hingga sebesar Rp10,74 triliun di pasar saham RI.

Penempatan dana investor global yang relatif kecil penambahannya di SBN diduga karena asing banyak mengalihkannya ke aset rupiah tenor pendek, sebagai upaya mengurangi eksposur risiko sekaligus memburu imbal hasil yang lebih menarik.

Pada 2024, misalnya, asing membukukan net buy di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sebesar Rp161,99 triliun. SRBI memberikan imbal hasil lebih menarik karena lebih tinggi melampaui SBN di tenor yang sama, bahkan lebih tinggi dibandingkan surat utang RI tenor panjang.

Sepanjang 2024, misalnya, yield atau bunga diskonto SRBI tenor terpanjang dan favorit yakni 12 bulan, rata-rata berada di kisaran 7,16%. Bahkan yield-nya pernah menyentuh level tertinggi pada 8 Mei lalu di 7,53%.

Bandingkan dengan SUN tenor 12 bulan yang rata-rata bergerak di 6,43% yield-nya dan tertinggi hanya di 6,88%. 

Tingkat bunga SRBI bahkan melampaui imbal hasil SUN tenor panjang 10 tahun. Mengacu data Bloomberg, SUN acuan 10Y selama 2024 lalu rata-rata bergerak di kisaran 6,77% dan tertinggi hanya di 7,14%.

Dengan tawaran bunga diskonto yang menggiurkan, tidak heran bila para pemodal asing lebih suka 'parkir' di SRBI dan pada saat yang sama mengurangi penempatan di SBN yang tenornya lebih panjang tapi malah memberi yield lebih rendah. 

Minat Asing Memudar

Meski investor asing mencatatkan belanja terbesar di SRBI, nyatanya minat para pemodal global menempatkan dana di instrumen tersebut makin susut belakangan ini, terutama ketika terjadi perubahan ekspektasi di pasar global menyangkut inflasi dan tingkat bunga acuan AS hingga risiko pecahnya lagi perang dagang menyusul keterpilihan Trump.

Data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia terakhir yakni hingga posisi akhir November, kepemilikan asing di SRBI mencapai Rp243,70 triliun. Itu menjadi posisi kepemilikan terendah sejak Juli atau berkurang Rp18,47 triliun dari posisi tertinggi pada Oktober 2024. 

Proporsi kepemilikan asing juga susut di pasar sekunder, yaitu tinggal 25,14% dari total outstanding SRBI sampai akhir November yang mencapai Rp969,16 triliun. Padahal pada September, proporsi asing di SRBI ini masih sebesar 27,4%.

Kini, penguasa SRBI terbesar di pasar sekunder adalah perbankan lokal dengan kepemilikan mencapai Rp601,69 triliun, setara dengan 62,08% dari outstanding. Sedangkan investor lokal dari industri dana pensiun, asuransi serta reksa dana, menguasai sedikitnya Rp84,88 triliun.

Dalam kajiannya yang pernah dilansir beberapa waktu lalu, analis menyoroti risiko bila laju kepemilikan investor asing di SRBI kalah oleh laju investor lokal. 

"Arus masuk asing yang lebih rendah dan pembelian SRBI oleh investor domestik yang lebih tinggi bisa memicu efek crowding out yang lebih serius," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan.

Itu karena SRBI pada mulanya dirancang untuk menarik modal asing masuk agar suplai valas di dalam negeri bisa bertambah sehingga membantu penguatan rupiah. "Namun, instrumen tersebut akhirnya menguras likuiditas dalam negeri yang seharusnya bisa disalurkan ke obligasi pemerintah atau ke pasar saham," kata analis.

Membandingkan dua data yaitu posisi perbankan di SRBI dan SBN memperlihatkan tren yang berlawanan. Kepemilikan SBN oleh perbankan dalam tiga bulan terakhir tahun lalu, mencatat penurunan beruntun senilai total Rp105 triliun yakni dari posisi Rp1.156,18 triliun di akhir September menjadi tinggal Rp1.051,40 triliun pada akhir Desember 2024.

Sementara kepemilikan perbankan komersial di SRBI bertambah Rp49,62 triliun hanya dalam dua bulan saja karena data bulan Desember belum tersedia. 

Adapun di pasar pasar saham, rata-rata nilai transaksi harian sepanjang 2024, menurut data Bursa Efek Indonesia, mencapai Rp12,9 triliun, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, meski ada sedikit kenaikan rata-rata transaksi harian, kinerja IHSG pada tahun lalu juga menjadi yang terburuk di Asia Tenggara dengan penurunan 2,65%. 

Tren penurunan minat asing di SRBI, di tengah belanja di SBN yang cenderung lesu, mungkin akan berlanjut tahun ini akibat lanskap pasar global yang makin tidak berpihak pada aset-aset emerging market. Kebijakan Trump diprediksi bisa memantik inflasi kembali bangkit di negeri itu.

Analisis yang dikeluarkan oleh salah satu pengelola dana global kelas kakap, Apollo Global Management, memprediksi, terdapat probabilitas sebesar 40% terjadinya reinflasi di AS. Itu akan memantik pula potensi kenaikan bunga The Fed lagi, dengan probabilitas sebesar 40%.

Bahkan, risiko defisit fiskal AS diperkirakan akan membawa yield Treasury tenor 10Y akan bergerak di atas 5% sebelum pertengahan tahun ini, menurut Chief Economist Apollo Thorsten Sløk.

Itu akan menjadi kabar buruk bagi pasar domestik dan dapat menguras likuiditas lebih banyak dari pasar dalam negeri sehingga bisa menyeret rupiah kian lemah. 

-- update pada nilai penambahan posisi asing di SBN pada 2011.

(rui/aji)

No more pages