Di sisi lain, Moshe menyebut Pertamina masih memiliki ego untuk menguasai idle well tersebut. Selama ini padahal Pertamina mengelolanya secara cuma-cuma atau ala kadarnya sehingga sumur tersebut menjadi tersandera.
“Pertamina tuh harus bisa melepaskan egonya. Pokoknya demi ketahanan energi nih. Terus terang misalnya [Pertamina] enggak bisa mengelola ini [idle well], silakan ambil oleh orang lain,” tutur Moshe.
Menurutnya, International Oil Company (IOC) atau National Oil Company (NOC) kelas dunia bahkan sudah memberlakukan aturan perusahaan jika tidak bisa mengelola sumur minyaknya maka akan dilepaskan untuk dikelola oleh investor lain. “Nah Pertamina ini enggak ada yang kayak gitu.”
Alih-alih mengurus idle well tersebut, kata Moshe, lebih baik Pertamina fokus akuisisi sumur di luar negeri karena saingannya lebih banyak dengan investor lain untuk mencaplok lapangan yang bagus.
“Banyak lapangan yang dikelola Pertamina ini yang butuh atensi ekstra. Dari pada ngabisin uang untuk lapangan-lapangan yang penting, ada solusi dan lain sebagainya, lebih baik dia lepaskan. Fokus ke yang gede-gede,” ujar Moshe.
Lebih lanjut, Moshe mengatakan Pertamina yang saat ini berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus memiliki visi dan misi selaras terkait migas dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengurus persoalan energi di Tanah Air.
“Nah, dua kementerian ini kan punya visi misi masing-masing. Enggak ketemu, karena enggak semua satu komando,” imbuh dia.
Kesulitan Investor
Moshe menggarisbawahi pada 2025 Indonesia akan kesulitan mendapatkan investor dari asing untuk sektor migas, khususnya Eropa dan AS, karena mereka akan memberikan insentif yang tinggi untuk menanamkan modal di negaranya sendiri dibandingkan dengan negara lain.
Untuk itu, lanjut Moshe, RI tidak perlu berharap pada investor besar atau kelas kakap. Seharusnya, Indonesia dapat memanfaatkan investor menengah untuk berinvestasi khususnya dalam memanfaatkan sumur minyak yang menganggur.
“Misalkan kayak Harbour Energy, kan tadinya bukan investor yang kelas kakap kayak The Big Five. Akan tetapi, kan akhirnya dia masuk dan berkembang. Buktinya mereka sukses akhirnya jadi one of the most prominent oil and gas companies,” tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah perlu meminimalisasi risiko yang akan dihadapi para investor seperti data yang mudah diperoleh untuk memudahkan investor. Kemudian pemerintah juga bisa memperbanyak sistem seismik.
“Jadi orang akan lebih nyaman dengan adanya data lebih komplit, mudah diakses. Nah itu akan lebih nyaman untuk investasi. Apalagi, perusahaan-perusahaan yang medium, yang dia enggak bisa terlalu banyak ambil risiko yang tinggi. Makin banyak data, risiko makin kecil,” imbuh dia.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Plt Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan saat ini sudah ada pihak yang berminat untuk menggarap sumur-sumur menganggur tersebut.
“Iya, kalau itu jelas [ditawarkan ke swasta]. Kita sudah sosialisasi waktu itu di Gedung SKK Migas. Waktu itu Pak Menteri [Bahlil] hadir. Kita sosialisasikan,” kata Dadan saat ditemui, akhir Desember.
Menurut Dadan, Pertamina saat ini lebih proaktif untuk menawarkan daftar sumur idle kepada pihak yang berminat. “Posisinya sudah lebih aktif nih Pertamina ini menawarkan. Sudah ada daftarnya, siapa yang tertarik,” ucapnya.
Dadan juga menyebut pemerintah terbuka untuk memberikan insentif khusus apabila proyek-proyek sumur idle dinilai kurang menarik secara keekonomian.
“Ya, kalau secara keekonomianya tidak masuk, ya pemerintah bisa melihat sih nanti,” imbuh Dadan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat itu pernah menyebut pihaknya sudah melakukan pemetaan terhadap lokasi dari sumur minyak idle di Indonesia yang jumlahnya berkisar antara 4.500 hingga 5.000.
Lebih lanjut, Bahlil mengatakan pihaknya sedang mengkaji beberapa skema pengelolaan sumur idle yang dikembalikan kepada pemerintah dengan mekanisme yang lebih efisien.
"Kita lagi cari skemanya, kalau lelang lama ngapain? Bisa kita buat, percepat aja. Kita terlalu banyak aturan di republik ini. Gara-gara banyak aturan, kita bekerja saja tidak bisa. Kalau yang kecil-kecil ya, kalau yang gede [tetap lelang]," ujarnya.
(mfd/wdh)