Logo Bloomberg Technoz

Kemudian, Hetifah mengingatkan alokasi anggaran harus direncanakan secara matang. Sebagai catatan, penggantian Ujian Nasiona (UN) dengan Asesmen Nasional (AN) sebelumnya juga dilakukan dengan pertimbangan efisiensi anggaran.  

"Kebijakan ini harus dibangun melalui dialog terbuka dengan para guru, siswa, orang tua, dan akademisi. Partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan ini akan memastikan bahwa kebijakan UN tidak hanya menjadi keputusan sepihak, tetapi juga mencerminkan kebutuhan nyata dunia pendidikan," jelasnya.

"Kami mendorong pengembangan sistem penilaian alternatif yang lebih holistik. Penilaian tidak boleh hanya berfokus pada hasil tes, tetapi juga mencakup aspek perkembangan karakter dan kompetensi siswa secara keseluruhan,"tambahnya.

Hetifah mengingatkan dengan pengalaman sebelumnya, Ujian Nasional (UN) kerap menimbulkan tekanan psikologis bagi siswa bahkan orang tua. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan program pendampingan dan pelatihan yang membantu siswa menghadapi UN tanpa rasa cemas berlebihan.

"Pemerintah juga harus memastikan distribusi soal berjalan lancar, khususnya di wilayah 3T, serta mengatasi isu kebocoran soal yang sering terjadi," katanya.

Ia juga menegaskan pentingnya evaluasi kebijakan secara berkala untuk menilai efektivitas UN dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Kebijakan ini harus mencerminkan kebutuhan masyarakat dan dunia pendidikan, bukan sekadar menggantikan AN tanpa dasar yang jelas.  

Dihubungi terpisah, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai banyak sisi keburukan soal Ujian Nasional (UN) yang dahulu dijalankan dalam sistem pendidikan sebagai syarat kelulusan.

"Kalau Ujian Nasional (UN) seperti dahulu ya, (saya nggak tau UN model baru bagaimana), jelas itu keburukannya lebih banyak daripada sisi baik dalam peningkatan mutu pendidikan,"kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji kepada Bloomberg Technoz.

"Dahulu, banyak sekali anak-anak putus sekolah akibat Ujian Nasional (UN), anak depresi juga banyak, sementara guru-gurunya dan pemerintah banyak yang terlibat praktik-praktik koruptif seperti penyelewengan dana Ujian Nasional (UN), bocoran soal, sindikat kunci jawaban dll," ujarnya.

Lebih lanjut, Ubaid mengatakan pengembalian Ujian Nasional (UN) juga membuat publik masih kebingungan dan bertanya-tanya mengenai konsep yang akan dihadirkan nanti. 

"Jadi konsep Ujian Nasional (UN) yang mau diberlakukan sekarang ini masih kabur. Janganlah kita terperosok dalam lubang yang sama," jelasnya.

Ubaid juga menilai Asesmen Kompetensi (AN) yang menggantikan Ujian Nasional (UN) pada masa kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim pada tahun 2021, pemetaan capaian kualitas pendidikannya jauh lebih komprehensif.

"Sayangnya mengapa data Asesmen Kompetensi (AN) itu diumpetin? Ini masalahnya. Karena dirahasiakan, maka hasil AN tidak dapat dimanfaatkan, dan cenderung menjadi data sampah karena tidak ada nilai guna," katanya.

Ujian Nasional Hanya dilaksanakan di Sekolah Akreditasi

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof Abdul Mu'ti, menegaskan bahwa pelaksanaan Ujian Nasional hanya dapat dilakukan di sekolah yang memiliki akreditasi.

"Kami tegaskan bahwa yang dapat menyelenggarakan ujian adalah satuan pendidikan yang terakreditasi. Jadi, satuan pendidikan yang tidak terakreditasi tidak bisa menyelenggarakan ujian nasional," ujar Mu'ti kepada wartawan di Jakarta, Rabu (1/1/2025).

Mu'ti juga menyampaikan bahwa pemerintah akan memperkenalkan sistem evaluasi baru untuk menilai capaian belajar siswa, yang dapat menjadi acuan bagi banyak pihak, termasuk pelaksanaan Ujian Nasional.

UN yang akan dilaksanakan nanti, kata Mu'ti, berbeda dengan yang pernah diterapkan sebelumnya dalam sistem pendidikan di Indonesia.

"Oleh karena itu, kami telah mengkaji semua pengalaman sejarah, termasuk kekhawatiran masyarakat, dan pada akhirnya kami akan memiliki sistem evaluasi baru yang berbeda dari sebelumnya," tambahnya.

(dec/spt)

No more pages