"Rupiah juga mengalami undervalued sebesar 11,8% dibandingkan dengan rata-rata kurs spot 10 tahun yang sebesar Rp14.317/US$. Hasil regresi menunjukkan bahwa pergerakan USD/IDR terutama didorong oleh investasi, diikuti oleh perbedaan tingkat inflasi," kata Bloomberg Intelligence Chief Asia FX and Rates Strategist Stephen Chiu dan Senior Associate Analyst Chunyu Zhang dalam kajian yang dilansir hari ini.
Analis menilai, mungkin ada peningkatan urgensi bagi Bank Indonesia untuk meningkatkan pertahanan pada rupiah. Termasuk menahan tingkat bunga acuan pada 2025 terutama bila di pasar spot rupiah terus tertekan.
Bukan hanya rupiah yang jauh di bawah nilai wajarnya terhadap dolar AS. Mayoritas mata uang Asia juga undervalued terhadap the greenback saat ini.
Terjangan dolar AS yang makin menjadi-jadi pasca keterpilihan Donald Trump sebagai presiden AS dalam pilpres awal November lalu, telah melibas hampir semua mata uang yang menjadi lawannya dan membuat bank sentral negara-negara menjadi sangat sibuk.
Kondisi undervalued mayoritas mata uang Asia yang terlihat saat ini diperkirakan akan semakin meningkat pada tahun 2025 bila AS di bawah rezim Trump melancarkan Perang Dagang 2.0.
Analisis tim Bloomberg Intelligence didasarkan atas permodelan BEER yang mencakup sebagian besar pasangan valuta global utama.
Bila rupiah tercatat undervalued hampir 10% terhadap dolar AS, di belakangnya adalah ringgit Malaysia yang undervalued hingga 9,5%, lalu peso 8,5%, lalu dolar Taiwan sebesar 6,7%.
Dong Vietnam juga nilainya ada di bawah angka wajar hampir 5%, rupee 4%, sementara baht di bawah harga wajar sebesar 2,3%.
Yuan Tiongkok di sisi lain nilainya di bawah harga wajar sebesar 2%. Di antara mata uang Asia, won Korsel menjadi mata uang di kawasan yang paling 'murah' di bawah harga wajarnya dengan nilai undervalued mencapai 15,3%.
Sedangkan dolar Singapura tercatat overvalued atau di atas harga wajar terhadap the greenback sebesar 3%.
Pada 2025, menurut analisis Bloomberg Intelligence, mata uang Asia kebanyakan akan jatuh melemah tertekan oleh dolar AS, terutama disetir oleh perang dagang yang digelorakan oleh Trump.
Pasar mungkin akan memperhitungkan tema “beggar-thy-neighbour” pada 2025, dengan pandangan bahwa berbagai bank sentral di Asia mungkin akan lebih bersedia melihat mata uang mereka terdepresiasi untuk melawan dampak negatif terhadap volume ekspor mereka akibat tarif AS.
Trump berniat menerapkan penerapan tarif 10-20% pada semua barang impor dari semua negara dan tarif 60% untuk barang impor dari Tiongkok. Sebagian besar perekonomian Asia mungkin memiliki kekhawatiran jika nilai yuan turun dengan cepat terhadap mata uang mereka.
"Tentu saja, bank sentral mungkin masih mengambil tindakan untuk memperlancar depresiasi mata uang pada berbagai tingkat psikologis, namun tujuannya mungkin adalah untuk memastikan terjadinya pelemahan yang teratur [lebih halus] dan bukannya membalikkan tren. Yuan offshore, peso, dan rupee mungkin mencapai rekor terendah terhadap dolar pada tahun 2025," kata tim analis Bloomberg Intelligence dalam riset terpisah.
Rupiah memiliki level psikologis Rp16.500/US$ yang pernah tertembus pada saat pandemi Covid-19, tepatnya di Rp16.575/US$. Level itu akan menjadi titik krusial yang menentukan.
Risiko pasar global
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada taklimat media pasca pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur pada pertengahan Desember lalu mengulangi lagi pernyataannya bahwa fokus utama bank sentral adalah memastikan stabilitas rupiah.
Ke depan, arah kebijakan BI Rate hampir pasti akan bergantung pada situasi eksternal, terutama terkait arah kebijakan bunga Amerika Serikat, yang bisa dengan mudah mempengaruhi pergerakan rupiah.
"Kami belum berani turunkan suku bunga BI Rate. Kami fokus rupiah, kondisi ketidakpastian pasar makin tinggi," kata Perry.
Beberapa risiko pasar global memang mengintai tahun ini dan menjadi perhatian utama para pelaku pasar.
Menurut kajian yang dirilis oleh Torsten Sløk, Chief Economist Apollo Global Management, perusahaan pengelola dana global kelas kakap, beberapa risiko pasar itu penting untuk diwaspadai.
Tahun 2025 mungkin tidak akan mudah untuk dilalui dengan perubahan geopolitik yang berdampak besar, terutama melihat yang terjadi di AS dengan kemunculan lagi Trump di pucuk pemerintahan negara dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia itu.
Salah satu risiko yang perlu diwaspadai adalah terkait kondisi defisit AS. Kekhawatiran akan kesehatan fiskal AS bisa mempengaruhi tingkat imbal hasil yang diminta investor Treasury, surat utang terbitan Pemerintah AS.
Sløk melihat ada peluang sekitar 40% bagi yield Treasury tenor 10Y untuk bergerak di atas 5% sebelum pertengahan 2025.
Itu menjadi berita buruk bagi perekonomian karena kenaikan yield Treasury akan melesatkan suku bunga KPR, kartu kredit hingga kredit konsumsi lain yang selama ini mengacu pada UST-10Y. Saat ini posisi yield UST-10Y ada di 4,55%.
Di sisi lain, indikasi masih kuatnya ekonomi AS ditambah dengan kebijakan Trump yang potensial mengerek lagi inflasi bisa membuat kebijakan bunga The Fed berbalik hawkish.
Sløk memperkirakan, ada potensi 40% suku bunga The Fed akan naik lagi. Paparan Sløk juga menyoroti adanya risiko resesi yang dihadapi oleh negara dengan PDB kedua serta keempat terbesar di dunia yakni China dan Jerman. Probabilitas terjadinya resesi di China mencapai 40%, menurut Apollo.
Bagi Indonesia yang menjadikan China sebagai mitra dagang utama, resesi di Negeri Panda akan berdampak pada kinerja perdagangan ke depan.
(rui)