Logo Bloomberg Technoz

Melihat peluang untuk memenuhi kebutuhan energi Eropa tersebut, Trump akan memberikan insentif bagi perusahaan AS untuk lebih giat memproduksi migas dalam negeri.

“Mau itu minyak, mau itu gas alam cair [liquefied natural gas/LNG], dan lain sebagainya. Jadi luar biasa itu nanti perubahannya, pergeserannya. Kalau Biden kan lebih ke pro ke renewable energy, Trump lebih ke migas,” tutur Moshe.

Moshe menjelaskan kondisi Eropa juga berat saat ini karena masyarakatnya terbilang miskin pascaperang. Di sisi lain, Eropa juga tengah mendorong energi baru terbarukan (EBT) sehingga seluruh biaya yang harus dikeluarkan meningkat.

Kemudian, interkoneksi antarnegara di Eropa biayanya juga cukup tinggi seperti Jerman hingga Denmark.

“Biaya listrik yang tinggi itu justru mendorong negara-negara lain jadi ikut naik juga biayanya. Kenapa? Karena listriknya terkoneksi. Jadi saling impor-ekspor listrik di Eropa. Jadi kalau satu negara itu naik, biaya listriknya yang lain jadi ikut naik,” imbuh Moshe.

Melihat kebutuhan investasi EBT yang tinggi tersebut membuat pemerintah Eropa memberikan kemudahan hingga insentif yang besar. Hal ini dilakukan untuk menarik investor yang semula akan berinvestasi di berbagai belahan dunia lain termasuk Indonesia agar berinvestasi lebih besar di Eropa.

“Daripada di negara lain, yaudah taruh [investasinya] di Eropa saja. Karena Eropa lagi butuh nih. Jadi bakal ada ada insentif tambahan atau dana sebagainya. Untuk mereka bisa lebih menambah yang sustainable tadi,” ujarnya.

Moshe menilai berinvetasi di negara asal akan lebih banyak kepastian karena sudah mengetahui kondisi politik negaranya, alih-alih harus berinvestasi misalnya di Indonesia yang kondisi politiknya sedang tidak stabil. 

“Kebijakan-kebijakan Prabowo ini, investor masih menimbang-nimbang. Ini arahnya mau ke mana sih? Dibilang katanya mau ngurangin emisi, mau nutup power plant. Di satu sisi, mau babat hutan 20 juta hektare. Jadi [investor] melihat nih, terus mau swasembada energi. Semua itu kan kadang-kadang ada beberapa hal yang jadi bertolak belakang,” ucap Moshe. 

Pertambangan minyak offshore./dok. SKK Migas

Investor Menengah

Moshe menggarisbawahi pada 2025 Indonesia akan kesulitan mendapatkan investor dari asing untuk sektor migas, khususnya Eropa dan AS, karena mereka akan memberikan insentif yang tinggi untuk menanamkan modal di negaranya sendiri dibandingkan dengan negara lain. 

Untuk itu, lanjut Moshe, RI tidak perlu berharap pada investor besar atau kelas kakap. Seharusnya, Indonesia dapat memanfaatkan investor menengah untuk berinvestasi khususnya dalam memanfaatkan sumur minyak yang menganggur atau idle well.

“Misalkan kayak Harbour Energy, kan tadinya bukan investor yang kelas kakap kayak The Big Five. Akan tetapi, kan akhirnya dia masuk dan berkembang. Buktinya mereka sukses akhirnya jadi one of the most prominent oil and gas companies,” tuturnya. 

Mencontoh China

Lebih lanjut, Moshe mengungkapkan salah satu negara dengan kemandirian energi yang cukup tangguh adalah China. Negeri Panda disebut telah belasan tahun lalu menerapkan swasembada energi seperti mengembangkan nuklir hingga energi terbarukan dengan teknologi yang makin canggih.  

Moshe menyebut saat dunia tengah menggenjot untuk beralih ke energi bersih, China sudah belasan tahun memulainya dan beberapa negara lain ketergantungan terhadap negara tersebut. 

China memegang pangsa pasar sebesar 60% untuk turbin angin, 90% untuk solar PV, hingga pemeran utama dalam sektor kendaraan listrik.

“Jadi mereka welcome semua dan mereka benar-benar melihat apa yang bagus dan penting bagi energy security mereka. Tujuan utamanya adalah mereka untuk bisa mandiri,” ujarnya.

(mfd/wdh)

No more pages